Thursday 28 November 2013

Curhat LDR

Story 4 (Curhat LDR book)

Demi Cinta

by: @ariesadhar


"Jadi, seudah berapa banyak tabungan yang lu punya?" tenya temen gue suatu kali.
"Banyak, Bro. Nih, lihat saja. TUMPUKAN TIKET PESAWAT!" kata gue dengan penuh percaya diri.
"Pantas lu enggak kaya-kaya, Bro."
"Enggak apa-apa, demi cinta."

Yah, itulah sekilas hidup gue selaku (eks) pelaku Long Distance Relationship, alis LDR, alis PJJ, alis Pacaran Jarak Jauh. Jawaban paling ampuh setiap pertanyaan yang mungkin muncul dari lingkungan sekitar terkait aktivitas LDR gue adalah, "Demi cinta."
Apa iya?
Nyatanya, yang berlabel "demi cinta" itu juga bisa berakhir. Hubungan gue yang berlandaskan tumpukan tiket pesawat itu sekarang sudah kandas ditelah bumi. Dari pengalaman itu, gue ngerasa perlu curhat, sekalian berbagi pengalaman, plus mencoba medobrak mitos-mitos LDR. Mitos yang buat gue kadang dicetuskan oleh orang-orang yang sok tahu.
Jadi, ini cerita gue.

Gue jadian untuk kedua kalinya seumur hidup pada Oktober 2007. Mengingat pergaulan gue di Jogja yang rada sempit, akhirnya gue memang dapatnya adik kelas. Selisih 2 angkatan. Ketemu waktu inisiasi dengan status sama-sama panitia. Model klasik pencarian pacar. Walau klasik gue berhasil membuktikan bahwa trik itu belum kehilangan taji. Waktu jadian, gue sudah masuk semester 7. Fase akhir kuliah S1 Farmasi yang gue tempuh.
Hubungan penuh dinamika itu masih bertahan sampai gue lulus pendidikan profesi, dan kemudian menerima tawaran untuk bekerja di sebuah kota bernama Palembang. Gue berangkat ke Palembang pada Mei 2009, dan secara resmi menjadi pelaku LDR.
Awalnya, gue pikir LDR itu mudah. Sekarang kan era modern, sudah ada telepon sampai Internet. Apa susahnya sih?
Baru deh di hari pertama gue menginjakkan kaki di Palembang, LDR itu terasa pahit. Dulu gue bisa pacaran secara fisik, sayang-sayangan, naik motor berduaan, makan bareng, dan sejenisnya. Sekarang, gue ngelakuin itu semua sendiri. Memang, tahun 2008 gue sempat PKL 2 bulan di Jakarta, dan LDR juga. Tapi, setelah PKL jelas bakal ketemu lagi, lha kalau kerja?
Rasa kangen yang membuncah membuat gue nekat melakukan perjalanan pulang pertama gue di bulan Agustus 2009. Gue saja enggak bisa bayangin gimana bisa. Baru gajian 3 kali, dengan jumlah yang enggak begitu besar, nekat minta cuti lagi. Meski jelas-jelas gue enggak punya cuti. Namanya juga anak baru. Tapi, terlaksana tuh. Gue berangkat ke Jogja naik pesawat. Menjadi kali pertama gue melakukan perjalanan jauh berbekal uang hasil keringat gue sendiri. Demi apa? Demi cinta!

Hubungan beda pulau ini masih terus berlanjut. Meski kadang kalau lagi gamang, gue juga heran kenapa masih saja bisa bertahan. Apalagi sejak Agustus 2009, setelah kepulangan nekat itu, gue enggak bertemu fisik dengan dia di Jogja sampai lama. Momen untuk bertemu baru kesampaian waktu gue diutus training ke Jakarta pada Mei 2010. Bertepatan dengan 1 tahun gue bekerja. Artinya, apa? Hak cuti cuy! Gue punya hari libur yang bisa diambil. Syukurlah.
Gue training Senin sampai Jumat di daerah Menteng. Hari Jumat sore, gue langsung menuju bandara. Ngapain? Naik pesawat ke Jogja dong! Gue bisa pacaran fisik lagi sampai hari Senin. Yah, begitulah. Sejak LDR, bertemu dan kontak secara fisik memang hanya terjadi 2-3 hari saja. Karena harus menempuh perjalanan jauh, mau tidak mau gue harus berkorban mengambil cuti. Gue rela hati saja. Demi apa? Masih, demi cinta.
Bibit-bibit nyaris kandas muncul di semester 2 tahun 2010. Gue sempat enggak kontak satu bulan lamanya dengan dia yang di Jogja. Nah, gara-gara ingin membereskan masalah di antara kami, gue langsung booking tanggal cuti ke bos. Plus, entah bagaimana caranya, menyisihkan uang buat beli tiket.
Oktober 2010, gue menuju Jogja lagi dengan agenda utama, pacaran. Tapi dasarnya lagi beruntumg, gue bisa melakukan banyak hal. Nonton adik cewek gue konser, mengunjungi adik cowok gue di asramanya, plus menghadiri pernikahan seorang teman yang sama-sama ngantor di Palembang. Pacaran? Gue hanya pacaran 1,5 hari lamanya. Masa yang sangat singkat untuk sebuah jarak yang jauh. Hasilnya? LDR itu masih selamat.
Sisi paling heroik gue dalam menjalani LDR terjadi sebulan kemudia. Gue sudah menjadwalkan untuk pulang agar bisa menghadiri wisuda si dia. Acara inagurasi itu berlangsung pada 6 November 2010. Gue sudah menyiapkan tiker dari jauh hari untuk perjalanan Palembang-Jogja pulang pergi. Gue berangkat pada 5 November 2010.

Kalau pada ingat, mulai akhir Oktober 2010 Gunung Merapi bergolak. Keadaan masih tampak biasa, sampai gue bersiap berangkat ke Bandara Sultan Mahmud Badarudin II (SMB II). Gue mendengar berita bahwa Merapi baru saja meletus dengan kekuatan terbesar dalam kurun waktu 100 tahun terakhir.
Gue mulai deg-degan ketika penerbangan transit berakhir. Mendarat dengan manis di Cengkareng bukannya bikin ayem, tapi mikir. Gue harus menghadapi kenyataan, Bandara Adisucipto ditutup untuk penerbangan. Gue pun menjalani salah satu fase paling absurd dalam hidup. Mulai dari mengantri refund di Terminal 1A, diwawancarai sebuah stasiun TV sebagai korban pembatalan penerbangan, sampai lari-lari dari Damri Gambir ke Stasiun Senen supaya bisa dapat tiket Kereta Api Senja Utama tambahan. Untung, kakak gue senasib, sehingga bisa bantu antri tiket di Stasiun Senen.
Wisuda di tengah abu itu ternyata hanya sebagian dari heroisme gue sebagai LDR mania. Kondisi Jogja belum oke, jadi tiket pulang gue enggak bakal bisa digunakan. Gue harus mengeluarkan bujet tambahan untuk beli tiket kereta api ke Jakarta, plus penerbangan lanjutan ke Palembang. Gue ngerasain susahnya minta keterangan agar tiket bisa di refund. Gue sampai hujan-hujanan ke Stasiun Tugu. Demi apa? Masih kok, demi cinta!

Serangkaian aktivitas yang serba antik tadi sungguh menekan isi tabungan gue. Jadilah, gue mendarat di Bandara SMB II dengan keadaan melarat. Mana saat itu baru tanggal 8 November 2010, alias masih jauh menuju gajian.
Sampai di mes, di ruang nonton TV, gue menghitung duit sisa di dompet. Melihat harta gue tinggal lembaran dua ribuan, penjaga mes tempat gue tinggal tidak tahan untuk berkorban.
"Ini nih korban cinta."
Gue hanya tersenyum simpul kala itu.

Gue, si mania LDR ini memang tak kapok bikin gebrakan. Sebuah keputusan revolusioner gue gagas. Awalnya, adalah sebaris kata dari si dia di Jogja.

"Aku capek jarak jauh."

Gue mengajukan permohonan pindah ke atasan. Enggak usah melongo gitu ya. Ini hal yang sulit, karena gua sebenarnya sudah klop dengan lingkungan kantor di Palembang.
Mei 2011, gue pindah ke tempat baru di Cikarang. Oktober 2011, dia di Jogja lantas menyusul gue kerja di Cikarang. So, kami bukan pelaku LDR lagi. Apakah masalah selesai?
Enggak!
Bersama kembali setelah LDR nyaris 2,5 tahun ternyata bukan perkara mudah. Problem-problem mendasar dari hubungan yang sejatinya rapuh akhirnya mencuat kembali. Sebuah perasaan yang aneh pun muncul ketika hampir setiap waktu dihabiskan bersama.
"Gue biasa sendirian, lha orang ini kok ada terus sekarang?"
Semuanya terakumulasi hingga semakin pekik. Suatu hari di bulan Januari 2012, hubungan gue dan dia selesai. Bubar.
Ya, bubar setelah tumpukan tiket pesawat terbentuk. Bubar setelah gue mengorbankan karier bagus di tempat lama. Bubar setelah 4 tahun lebih bersama.
Lihat? Gue bisa mempertahankan hubungan selama LDR, tapi pada akhirnya gagal pasca LDR. Jadi, sebenarnya LDR bukanlah inti masalah. Itu sih menurut gue.
Pelajaran yang gue petik, kuat-lemahnya suatu hubungan tidaklah ditentukan oleh keadaan LDR atau tidak. Sebuah hubungan bisa di bangun dengan baik, jika landasannya juga baik, dan bisa menjadi kebaikan bersama. Tanpa harus ada status LDR atau tidak.

Gue mengalami indahnya bertemu hingga sedihnya perpisahan selama 2 tahun lebih. Dan, gue berhasil menjadikan LDR sukses dengan segala hal yang bisa dikorbankan. Gue masih berpikir kalau semua itu enggak sia-sia. Banyak pelajaran yang gue petik dari kandasnya hubungan itu, plus pengalaman LDR yang gue punya.
Itu sebabnya gue males dengan orang-orang yang sok jago LDR. Eh,  mana nekat bikin tip menjalani LDR seolah-olah sudah pakar. Gue enek juga lihat orang yang begitu saja menjustifikasi bahwa LDR itu pasti gagal, padahal belum pernah melakoninya.
Buat gue LDR itu sesungguhnya pelajaran untuk berjuang mempertahanakan sesuatu yang kita percayai. Kalau gue bilang, "Demi cinta", ya memang cinta itulah yang diperjuangankan. Jarak adalah kendala terbesar yang menjelma menjadi tantangan. Sebenarnya, sederhana itu.
Dengan LDR kadar kesetiaan kita bisa terlihat. Siapa yang bisa menjamin jarak itu tidak mempengaruhi komitmen? Ya, jelas hanya si pemilik komitmen yang paham. Dan, ketika komitmen dipertahankan dengan baik, kesetiaan akan terbukti. Lagi-lagi sederhana, tapi sulit melakoninya.

Satu-satunya penyesalan gue adalah asalan pindah kerja. Gue enggak menyesali tempat kerja baru. Tapi, berkorban karier demi pacar, gue bilang bukan hal yang logis untuk dilakoni. Karena ketika gagal, lu akan berada dalam kegamangan besar. Semestinya dulu gue punya alasan yang lebih pintar, ketika hendak memetakan karier gue sendiri. Itu doang kok. Maka, hal yang gue sesali adalah alasannya, bukan tempat kerja baru gue.
Begitulah, LDR itu tidak mudah, dan butuh pengorbanan. Gue melakoninya, dan gua mengambil hikmahnya. Buat gue hidup terus berjalan, dan karena LDR bukan kesalahan, maka hubungan semacam itu gue yakini tetap punya nilai untuk dijalani. Semua tergantung dari dua orang yang berkomitmen. Demi apa? Tentu saja, demi cinta.


-The END-

No comments:

Post a Comment