Thursday 28 November 2013

Curhat LDR

Story 4 (Curhat LDR book)

Demi Cinta

by: @ariesadhar


"Jadi, seudah berapa banyak tabungan yang lu punya?" tenya temen gue suatu kali.
"Banyak, Bro. Nih, lihat saja. TUMPUKAN TIKET PESAWAT!" kata gue dengan penuh percaya diri.
"Pantas lu enggak kaya-kaya, Bro."
"Enggak apa-apa, demi cinta."

Yah, itulah sekilas hidup gue selaku (eks) pelaku Long Distance Relationship, alis LDR, alis PJJ, alis Pacaran Jarak Jauh. Jawaban paling ampuh setiap pertanyaan yang mungkin muncul dari lingkungan sekitar terkait aktivitas LDR gue adalah, "Demi cinta."
Apa iya?
Nyatanya, yang berlabel "demi cinta" itu juga bisa berakhir. Hubungan gue yang berlandaskan tumpukan tiket pesawat itu sekarang sudah kandas ditelah bumi. Dari pengalaman itu, gue ngerasa perlu curhat, sekalian berbagi pengalaman, plus mencoba medobrak mitos-mitos LDR. Mitos yang buat gue kadang dicetuskan oleh orang-orang yang sok tahu.
Jadi, ini cerita gue.

Gue jadian untuk kedua kalinya seumur hidup pada Oktober 2007. Mengingat pergaulan gue di Jogja yang rada sempit, akhirnya gue memang dapatnya adik kelas. Selisih 2 angkatan. Ketemu waktu inisiasi dengan status sama-sama panitia. Model klasik pencarian pacar. Walau klasik gue berhasil membuktikan bahwa trik itu belum kehilangan taji. Waktu jadian, gue sudah masuk semester 7. Fase akhir kuliah S1 Farmasi yang gue tempuh.
Hubungan penuh dinamika itu masih bertahan sampai gue lulus pendidikan profesi, dan kemudian menerima tawaran untuk bekerja di sebuah kota bernama Palembang. Gue berangkat ke Palembang pada Mei 2009, dan secara resmi menjadi pelaku LDR.
Awalnya, gue pikir LDR itu mudah. Sekarang kan era modern, sudah ada telepon sampai Internet. Apa susahnya sih?
Baru deh di hari pertama gue menginjakkan kaki di Palembang, LDR itu terasa pahit. Dulu gue bisa pacaran secara fisik, sayang-sayangan, naik motor berduaan, makan bareng, dan sejenisnya. Sekarang, gue ngelakuin itu semua sendiri. Memang, tahun 2008 gue sempat PKL 2 bulan di Jakarta, dan LDR juga. Tapi, setelah PKL jelas bakal ketemu lagi, lha kalau kerja?
Rasa kangen yang membuncah membuat gue nekat melakukan perjalanan pulang pertama gue di bulan Agustus 2009. Gue saja enggak bisa bayangin gimana bisa. Baru gajian 3 kali, dengan jumlah yang enggak begitu besar, nekat minta cuti lagi. Meski jelas-jelas gue enggak punya cuti. Namanya juga anak baru. Tapi, terlaksana tuh. Gue berangkat ke Jogja naik pesawat. Menjadi kali pertama gue melakukan perjalanan jauh berbekal uang hasil keringat gue sendiri. Demi apa? Demi cinta!

Hubungan beda pulau ini masih terus berlanjut. Meski kadang kalau lagi gamang, gue juga heran kenapa masih saja bisa bertahan. Apalagi sejak Agustus 2009, setelah kepulangan nekat itu, gue enggak bertemu fisik dengan dia di Jogja sampai lama. Momen untuk bertemu baru kesampaian waktu gue diutus training ke Jakarta pada Mei 2010. Bertepatan dengan 1 tahun gue bekerja. Artinya, apa? Hak cuti cuy! Gue punya hari libur yang bisa diambil. Syukurlah.
Gue training Senin sampai Jumat di daerah Menteng. Hari Jumat sore, gue langsung menuju bandara. Ngapain? Naik pesawat ke Jogja dong! Gue bisa pacaran fisik lagi sampai hari Senin. Yah, begitulah. Sejak LDR, bertemu dan kontak secara fisik memang hanya terjadi 2-3 hari saja. Karena harus menempuh perjalanan jauh, mau tidak mau gue harus berkorban mengambil cuti. Gue rela hati saja. Demi apa? Masih, demi cinta.
Bibit-bibit nyaris kandas muncul di semester 2 tahun 2010. Gue sempat enggak kontak satu bulan lamanya dengan dia yang di Jogja. Nah, gara-gara ingin membereskan masalah di antara kami, gue langsung booking tanggal cuti ke bos. Plus, entah bagaimana caranya, menyisihkan uang buat beli tiket.
Oktober 2010, gue menuju Jogja lagi dengan agenda utama, pacaran. Tapi dasarnya lagi beruntumg, gue bisa melakukan banyak hal. Nonton adik cewek gue konser, mengunjungi adik cowok gue di asramanya, plus menghadiri pernikahan seorang teman yang sama-sama ngantor di Palembang. Pacaran? Gue hanya pacaran 1,5 hari lamanya. Masa yang sangat singkat untuk sebuah jarak yang jauh. Hasilnya? LDR itu masih selamat.
Sisi paling heroik gue dalam menjalani LDR terjadi sebulan kemudia. Gue sudah menjadwalkan untuk pulang agar bisa menghadiri wisuda si dia. Acara inagurasi itu berlangsung pada 6 November 2010. Gue sudah menyiapkan tiker dari jauh hari untuk perjalanan Palembang-Jogja pulang pergi. Gue berangkat pada 5 November 2010.

Kalau pada ingat, mulai akhir Oktober 2010 Gunung Merapi bergolak. Keadaan masih tampak biasa, sampai gue bersiap berangkat ke Bandara Sultan Mahmud Badarudin II (SMB II). Gue mendengar berita bahwa Merapi baru saja meletus dengan kekuatan terbesar dalam kurun waktu 100 tahun terakhir.
Gue mulai deg-degan ketika penerbangan transit berakhir. Mendarat dengan manis di Cengkareng bukannya bikin ayem, tapi mikir. Gue harus menghadapi kenyataan, Bandara Adisucipto ditutup untuk penerbangan. Gue pun menjalani salah satu fase paling absurd dalam hidup. Mulai dari mengantri refund di Terminal 1A, diwawancarai sebuah stasiun TV sebagai korban pembatalan penerbangan, sampai lari-lari dari Damri Gambir ke Stasiun Senen supaya bisa dapat tiket Kereta Api Senja Utama tambahan. Untung, kakak gue senasib, sehingga bisa bantu antri tiket di Stasiun Senen.
Wisuda di tengah abu itu ternyata hanya sebagian dari heroisme gue sebagai LDR mania. Kondisi Jogja belum oke, jadi tiket pulang gue enggak bakal bisa digunakan. Gue harus mengeluarkan bujet tambahan untuk beli tiket kereta api ke Jakarta, plus penerbangan lanjutan ke Palembang. Gue ngerasain susahnya minta keterangan agar tiket bisa di refund. Gue sampai hujan-hujanan ke Stasiun Tugu. Demi apa? Masih kok, demi cinta!

Serangkaian aktivitas yang serba antik tadi sungguh menekan isi tabungan gue. Jadilah, gue mendarat di Bandara SMB II dengan keadaan melarat. Mana saat itu baru tanggal 8 November 2010, alias masih jauh menuju gajian.
Sampai di mes, di ruang nonton TV, gue menghitung duit sisa di dompet. Melihat harta gue tinggal lembaran dua ribuan, penjaga mes tempat gue tinggal tidak tahan untuk berkorban.
"Ini nih korban cinta."
Gue hanya tersenyum simpul kala itu.

Gue, si mania LDR ini memang tak kapok bikin gebrakan. Sebuah keputusan revolusioner gue gagas. Awalnya, adalah sebaris kata dari si dia di Jogja.

"Aku capek jarak jauh."

Gue mengajukan permohonan pindah ke atasan. Enggak usah melongo gitu ya. Ini hal yang sulit, karena gua sebenarnya sudah klop dengan lingkungan kantor di Palembang.
Mei 2011, gue pindah ke tempat baru di Cikarang. Oktober 2011, dia di Jogja lantas menyusul gue kerja di Cikarang. So, kami bukan pelaku LDR lagi. Apakah masalah selesai?
Enggak!
Bersama kembali setelah LDR nyaris 2,5 tahun ternyata bukan perkara mudah. Problem-problem mendasar dari hubungan yang sejatinya rapuh akhirnya mencuat kembali. Sebuah perasaan yang aneh pun muncul ketika hampir setiap waktu dihabiskan bersama.
"Gue biasa sendirian, lha orang ini kok ada terus sekarang?"
Semuanya terakumulasi hingga semakin pekik. Suatu hari di bulan Januari 2012, hubungan gue dan dia selesai. Bubar.
Ya, bubar setelah tumpukan tiket pesawat terbentuk. Bubar setelah gue mengorbankan karier bagus di tempat lama. Bubar setelah 4 tahun lebih bersama.
Lihat? Gue bisa mempertahankan hubungan selama LDR, tapi pada akhirnya gagal pasca LDR. Jadi, sebenarnya LDR bukanlah inti masalah. Itu sih menurut gue.
Pelajaran yang gue petik, kuat-lemahnya suatu hubungan tidaklah ditentukan oleh keadaan LDR atau tidak. Sebuah hubungan bisa di bangun dengan baik, jika landasannya juga baik, dan bisa menjadi kebaikan bersama. Tanpa harus ada status LDR atau tidak.

Gue mengalami indahnya bertemu hingga sedihnya perpisahan selama 2 tahun lebih. Dan, gue berhasil menjadikan LDR sukses dengan segala hal yang bisa dikorbankan. Gue masih berpikir kalau semua itu enggak sia-sia. Banyak pelajaran yang gue petik dari kandasnya hubungan itu, plus pengalaman LDR yang gue punya.
Itu sebabnya gue males dengan orang-orang yang sok jago LDR. Eh,  mana nekat bikin tip menjalani LDR seolah-olah sudah pakar. Gue enek juga lihat orang yang begitu saja menjustifikasi bahwa LDR itu pasti gagal, padahal belum pernah melakoninya.
Buat gue LDR itu sesungguhnya pelajaran untuk berjuang mempertahanakan sesuatu yang kita percayai. Kalau gue bilang, "Demi cinta", ya memang cinta itulah yang diperjuangankan. Jarak adalah kendala terbesar yang menjelma menjadi tantangan. Sebenarnya, sederhana itu.
Dengan LDR kadar kesetiaan kita bisa terlihat. Siapa yang bisa menjamin jarak itu tidak mempengaruhi komitmen? Ya, jelas hanya si pemilik komitmen yang paham. Dan, ketika komitmen dipertahankan dengan baik, kesetiaan akan terbukti. Lagi-lagi sederhana, tapi sulit melakoninya.

Satu-satunya penyesalan gue adalah asalan pindah kerja. Gue enggak menyesali tempat kerja baru. Tapi, berkorban karier demi pacar, gue bilang bukan hal yang logis untuk dilakoni. Karena ketika gagal, lu akan berada dalam kegamangan besar. Semestinya dulu gue punya alasan yang lebih pintar, ketika hendak memetakan karier gue sendiri. Itu doang kok. Maka, hal yang gue sesali adalah alasannya, bukan tempat kerja baru gue.
Begitulah, LDR itu tidak mudah, dan butuh pengorbanan. Gue melakoninya, dan gua mengambil hikmahnya. Buat gue hidup terus berjalan, dan karena LDR bukan kesalahan, maka hubungan semacam itu gue yakini tetap punya nilai untuk dijalani. Semua tergantung dari dua orang yang berkomitmen. Demi apa? Tentu saja, demi cinta.


-The END-

Curhat LDR

Story 3 (Curhat LDR book)

Jam Tangan

by: Gagak Sandoro


"Aku sudah sampai di Padang.
Maaf ya, mulai sekarang hubungan kita
semakn jauh lagi. Terhalang pulau
Sumatra dan Jawa. Tapi, mau gimana lagi?
Aku sayang sama kamu, Dit."

Begitulah ucapnya dalam pesan singkat yang menyambangi ponselku. Fiuh! Aku mengambil nafas panjang dan menghembusnya perlahan. Tidak pernah terkira sebelumnya kalau kita berdua akan menjalani hubungan jarak jauh. Sekian lama bersama, ada rasa tidak rela kalau dia harus pergi jauh dari sini. Bukan bentangan belasan kilometer lagi, tapi kami harus terpisah oleh dua pulau, Jawa dan Sumatra. Huft, enggak rela.

"Enggak apa-apa kok. Aku juga enggak bisa
nolak apa yang udah terjadi sama kita kan?
Kamu sudah makan belum? Ingat, jaga diri.
Jangan nakal sama cowok lain ya! :)"

Beberapa saat kemudian, aku sudah mengirim balasan kepadanya.

Kami duduk berdampingan di bangku taman. Seperti biasa, jadwal jalan sebulan sekali kami adalah duduk di tempat ini. Menghabiskan waktu dari pagi sampai sore untuk menikmati keindahan taman sembari mengobrol riang dengan Annisa, pacarku.
Kali ini tidak seperti biasanya, Annisa hanya diam mendengarkan semua ocehanku. Sesekali hanya anggukan atau senyum tipis sebagai jawaban darinya. Ada apa?
"Dit, gimana kalau hubungan kita enggak bertahan lama?" tanyanya gamang.
"Memangnya kenapa?"
"Habis lulus aku pindah ke Padang."

Untuk beberapa saat kami diam. Aku kalut dalam pikiran. Mungkin perempuan yang berada di sampingku juga merasakan hal yang sama.
Angin sore meniupkan rambut kami. Menggoyangkannya ke sana kemari. Satu tahun sudah kami lalui bersama. Dari awal tidak ada yang pernah sedikit pun terpikir akan berhubungan jarak jauh. Apa aku bisa menahan godaan untuk tidak selingkuh? Apa dia bisa menahan hasrat hatinya saat jauh dari aku? Ah, Tuhan....
Aku memandangnya. Mendengarkan ucapan Nisa sebaik mungkin.
"Kalau memang enggak bisa bertahan sama aku, kamu boleh kok mutusin aku," tambahnya.
Aku  tidak berkomentar apa pun selama dia bicara. Diriku masih dalam keadaan galau. Saat-saat seperti ini aku ingat akan janjiku dulu. Janji yang harus kutepati sebagai laki-laki sejati. Ya, harus aku tepati.
Aku tersenyum semanis mungkin, lalu menjawab, "Nis, aku enggak bisa dan enggak akan pernah bisa mutusin perempuan yang sudah jadi pacarku sekarang. Kalau kamu memang harus pergi, ya sudah. Kita kan bisa berhubungan jarak jauh."
"Memang kamu kuat? Cowok kayak kamu kalau enggak ada aku pasti selingkuhnnya bereceran," ucapnya dengan disusul tawa khasnya. Aku juga ikut tertawa dengannya.
"Setelah lulus ya? Berarti masih ada waktu beberapa bulan lagi untuk bersenang-senang. Aku mau manfaatin kamu ah."
"Enak aja, memang aku cewek apaan? Udah sore nih, ayo pulang!" dengan cemberut dia menarik tanganku untuk pulang.
Saat menunggu bus, pikiranku lagi-lagi terbang memikirkan apa yang akan terjadi saat kita sudah berjauhan. Menurut teman0teman yang sudah pernah merasakan LDR, virus malarindu akan terus menguat kalau tidak bertemu dengan sang pacar. Biasanya pula hubungan jarak jauh tidak akan pernah bertahan lama. Haduh, apa aku bisa menjalaninya nanti? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiranku.

Aku buka pesan-pesan dari Nisa yang masih tersisa di ponsel atau jejaring sosial untuk sekadar menghilangkan rasa rindu setelah beberapa hari ia tidak menghubungi. Aku membacanya satu demi satu semua pesan Nisa. Seringkali aku tersenyum sendiri saat mengingat berbagai kejadian saat pesan-pesan itu dikirim.

"Jadi, menurut kamu solusi yang pas buat masalah ini apa?"

Pesan dari masa lampau itu datang dari Annisa. Kami berdua saling melempar opini tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Dari hal remeh-temeh sampai penting seperti kualitas pendidikan di negeri ini.
Aku kenal Nisa lewat jejaring sosial, Facebook. Kami berdia sama-sama penggemar film Hary Potter. Di grup yang mewadahi fans seperti kami inilah awal aku dan Nisa bertemu. Di dalam grup itu ada sebuah acara yang mewajibkan anggotanya untuk berpasang-pasangan. Saat itu, partnerku adalah Nisa.
Setelah acara selesai, aku dan Nisa mulai sering mengobrol lewat pesan di FB. Aku tidak meminta nomor pribadinya, karena ada kesenangan yang tidak bisa dijelaskan saat aku menunggu pesan darinya mendarat dengan sempurna ke akunku.
Seiring waktu berlalu kami berdua janjian untuk kopi darat. Pada pertemuan keempat, akhirnya aku memberanikan diri untuk menembaknya. Dengan anggukan mantap dan wajah menunduk, Nisa bilang mau menjadi pacarku. Duh, senangnya!

"Dit, sudah tiga bulan kita menjalani
hubungan jarak jauh.
Hari ini jadwal kita buat jalan ke taman
kan? Andai saja kamu dekat aku....
Oh ya, sekolahku mayoritas perempuan,
jadi kamu tenang saja, aku enggak akan
macem-macem. Misalkan, kamu sudah enggak
tahan sama hubungan jarak jauh kita, aku
ikhlas kok. Beneran deh!"

Aku tidak tahu pesan Nisa ini sampai pukul berapa di Inbox FB-ku. Pacarku itu memang lebih sering menghubungi lewat FB, karena orangtuannya melarang ia menggunakan ponsel.
Aku mendengus kesal. Ini sudah ke sekian kali Nisa mencoba untuk merelakanku untuk pergi mencari pacar baru. Tentu aku menolak. Apa dia tidak tahu betapa aku sayang kepadanya? Memang, terkadang aku sempat berpikir untuk main serong dengan perempuan lain. Tapi, itu cuma pikiran liar yang menyusupi otakku saja.

"Nis, kamu jangan ngomong kaya gitu lah.
Kamu ingat ya, aku enggak akan pernah cari
pacar lain sebelum kamu mutusin aku lebih
dulu. Apa pun yang terjadi aku belajar
untuk setia sama satu orang. Ini janjiku.
Kalau masih nyuruh aku untuk cari pacar
lagi, aku marah sama kamu!"

Aku membalas pesan Nisa dengan sedikit gertakan. Semoga saja dia tidak pernah lagi membahas hal ini.
Sejam kemudian balasannya kembali datang. Katanya dia terlalu takut untuk jauh dariku. Nisa bilang, seandainya punya pintu ke mana saja milik Doraemon, mungkin sekarang dia dan aku sudah duduk bersama tanpa khawatir bentangan pulau yang memisahkan kita. Aku tidak bisa berhenti tersenyum saat membayangkan Nisa berbicara seperti itu dengan sikapnya yang manja. Ah, andai saja khayalannya itu menjadi kenyataan.

Malam minggu. Setelah Annisa pergi, tidak ada yang istimewa dengan hari ini. Kalau setahun yang lalu sih, malam minggu adalah waktu kami untuk menyantap martabak dan minum jahe susu di taman kompleks rumahnya. Sekarang? Kami hanya bisa bertahan dengan pesan mesra saja. Tanpa ada berpikiran untuk bertemu, duduk berdua kembali, nonton bareng, dan hal lain yang masih kita lakukan bersama.
Aku terkadang merutuki Tuhan. Kenapa Tuhan menakdirkan orangtuanya untuk pergi dari sini? Aku tak bisa menahan iri saat teman0teman sedang makan atau jalan dengan pacarnya. Teman-teman pun sering bertanya kapan aku mengajak pacarku untuk jalang bareng. Aku hanya diam. Karena, hanya itu jawaban yang bisa aku berikan untuk pertanyaan mereka.
Sudah beberapa minggu, Nissa tidak mengirimiku pesan kembali. Aku terus mencoba setia dan tetap menunggu. Mungkin dia sedang sibuk, tidak punya pulsa, tugas sedang menumpuk, atau dia sedang dikurung oleh orangtuanya.
Di saat sepi seperti ini, pikiran untuk main serong semakin kuat. Aku tengah dilanda krisis kasih sayang. Entah ada setan apa yang memaksaku untuk melakukan ini.

"Nisa, aku menyelingkuhimu. Aku menerima adik
kelas yang selalu mengejar-ngejarku. Adik kelas yang
kuceritakan kepadamu waktu itu. Aku tahu aku salah.
Tapi, aku tidak bisa menolak ini."

Sampai waktu berlalu dan menjadi kenangan. Sekarang, aku masih menunggu perempuan pertama yang menjadi pacarku. Tapi, aku juga ditemani oleh peran pengganti Annisa.
Aku tidak sadar telah melakukan ini. Aku bingung. Aku butuh pacar nyata. Yang selalu ada di sampingku. Aku tahu telah mengkhianati janji. Hal ini terjadi begitu saja.

"Dit, kamu ingat tanggal 22? Ya, hari
jadi kita. Aku enggak tahu paket ini akan
sampai tanggal berapa. Tapi, semoga saja
pas di tanggal 22, hehe... Maaf, sudah
lama aku enggak menghubungi kamu. Aku
nabung untuk ngasih jam itu, Dit. Jam
couple loh. Ini sebagai hadiah karena kamu
sudah nepatin janji enggak akan selingkuh.
Foto di dalam paket, itu aku lagi make
pasangan dari jam kamu. Nanti kamu juga
harus foto sama jam itu ya!"

Aku tergugu tidak bisa bicara. Sejam yang lalu aku mendapati pak pos mampir ke rumah dan memberikan paket ini. Paket dari Annisa yang berisi jam tangan dan sebuah surat. Paket sebagai hadiah untuk kesetiaanku selama ini. Bagaimana kalau dia tahu aku tidak menepati janji? Apa dia masih mau memberiku jam tangan ini? Nissa, maafkan aku. Jaga dirimu baik-baik di sana.


-The END-

Wednesday 27 November 2013

Five Things I Wish I Knew Before Starting a Long-Distance Relationship??


For most of human history, long-distance relationships have been impossible to sustain due to travel reasons alone. The internet age has made it much more feasible, but as I found out with my girlfriend, romance and relationships are a different beast when thousands of miles separate you.

As we've discussed before, sometimes failure is the best way to learn. My girlfriend and I are on our second try now after the intial attempt at long-distance went awry. As it turns out, it's possible to bridge the gap, both physically and figuratively, but not without major changes to our behavior. The first attempt didn't end well, but after learning several important lessons, we managed to move into a normal, ridiculous, local relationship. I won't be able to tell you how to be happy forever or find the secret to a 50-year marriage. Far from it. Hopefully this can at least help deal with the problems of being apart.

The Physical Aspect Matters More than You Think

It doesn't take an eight-year psychology degree to realize that hugs are great. However, you'll start to miss them after six months of being away from your partner. It's not just physical affection that gets lost with the distance, either. Chances are that even the most tech-savvy couples will communicate primarily via text, voice, and occasionally video chat sessions. If you've ever spent time talking to a person face-to-face, this is a huge step down.



During most of your conversations, there are whole swaths of human interaction you're not privvy to. You don't get to see them smile. You don't get to sit next to them on the couch. You can't tell that their body language is different when they're upset. In fact, if you don't talk to them via phone or video, you can't know if they're upset at all unless they volunteer that info.

This inherently puts more pressure on verbal communication. A lot more than we're used to, in fact. If you were to walk into a room and see your partner crying on the couch, it would be insensitive to shove a video of a cat playing with boxes in front of their face. However, if your primary method of communication is via IM or text message, you can do exactly this without ever realizing it.

As in most situations, the key to overcoming this problem is communication, but this type might not come naturally. In this case, making use of your imaginary audience can be helpful. Internet culture has a way of bringing out the egotist in us all. It's the reason we share things like what food we're eating or what movie we're watching. If you catch yourself wanting to share something with that perceived audience of people that may be of relevance to your partner (i.e. "I've had a bad day"), share it with them instead of Twitter.

Your Partner Will Spend a Lot ofTime With Other People

It sounds obvious, but if you're not living in the same area, your partner will have to get their socialization fix somewhere else. Most people will tell you that spending time together is key to keeping a relationship alive. When you're separated by hundreds of miles, though, your primary method for accomplishing this is by spending a lot of face time with a cold, digital display.

This doesn't mean you can't have meaningful interaction. Skype and Hangouts provide great opportunities to spend quality time with your partner both alone and with others. However, they're no substitute for getting out of the house. If your significant other is going to a concert, a movie, or out to dinner, they're going without you and probably with others.

If you're the jealous type—and it's hard not to be in a long-distance relationship—this is especially problematic. You'll wish you could be there, but you can't. This causes tension. It also breeds paranoia (which we'll talk more about in a bit). It may be possible to overcome this by setting aside time to spend together and by reassuring each other that if you could, you'd be doing activities together. However, you can never fully change the fact that when your partner is out having fun and you're home alone, it will almost always feel just a little bit like rejection.

In this case, a little overcompensation can do a world of good. Chances are that if you're living in the same town, it would seem overly mushy if your partner texted you to say "I wish you were here!" every time she went to dinner. When you're a thousand miles away, though, this kind of reminder matters a lot more. You let your loved one know that this situation isn't optimal. You assure them that if you could be part of their outing, you would be. It won't fix the fact that they haven't seen you in months, but it will be a small comfort at a time when every comfort counts.

You can also alleviate your own worries by filling up your time with activities of your own. We all have our own ways of recharging and every night your partner is out of communication is a chance to do things that benefit you. Read a book. Go to a party. Build something. Find something to invest your time in and relax while your significant other is out doing the same.

Time Differences Skew Perspectives

If your long distance relationship is spanning multiple time zones, things are going to get tougher. Relationships are built on shared experiences, which are tough enough when you're separated by a hundred miles. If you're on the West coast and she's on the East coast, though, then your "bed time" is her "middle of the night." Your "first thing in the morning" is her "been at work for an hour and a half."

If you want to get a sense of how much this matters, try showing up to your next dinner engagement three hours late (or more if your partner is on another continent). You will probably find some miffed guests who have already eaten and moved on from the restaurant.

If you're separated by so much space that you're more than an hour or two out of sync, set a schedule. Try to find routines that match up with each other. If you don't have any, make some. Pick a day every week to spend the evening together. Talk every day for at least a little while. This is one way that long distance relationships don't differ much from short-distance ones, but it takes extra effort to reach the baseline, so it can't be neglected.

You Need an End Game Plan

All your precautions and communication won't mean much if nothing ever changes. It's possible to maintain your situation on a temporary basis, but it's not a permanent solution. Long-distance relationships that don't have a goal to work towards—a vacation, the next meetup, or a permanent relocation—are relationships that will create their own expiration date.

Goals give you a target, something to justify the stress of being apart. Imagine working an internship for several years without any indication of when you might be moved up to having a proper job or even getting paid. That's what long-distance relationships without any set of goals are. They're in a state of unsustainable limbo until you close the distance.

The catch 22 is that depending on where you're at in a relationship, talking about plans to move to be together may be premature and put unnecessary pressure on you both. There's no formula for avoiding this problem, unfortunately.

If you can't make plans to pick up and move across the state or country just yet, at least plan your next meetup before the current one ends. You don't need to make travel arrangements necessarily (that can be incredibly expensive to begin with), but having a target to look forward to can help alleviate some of the stress of seeing your loved one go.

Long-Distance Relationships Are 90% Promises

When I got started in my first major long-distance relationship, I had the good fortune to have a friend tell me something that helped frame most of our issues in the right light. She told me: "A long-distance relationship isn't really a relationship. It's just the promise of one." Now, I should note that this is not something I fully agree with. I think it trivializes what are some very real connections. I'm currently very happy with my girlfriend that began as a long-distance relationship, despite some initial rockiness.

However, we're very much the exception. While the warning may not be universally accurate, the truth is, when you're in a long-distance relationship, you make a lot of promises. "Things will be different when we're together." "When we live in the same town, we'll do a bunch of fun stuff." "I wish I were there so I could bring you food/take care of you while you're sick/do things I'm not allowed to publish on Lifehacker." You may be the most sincere person on the planet, but that doesn't change the fact that you're racking up a bunch of promises that you'll have to deliver on later, or shatter the illusion.

If your relationship begins locally and then moves to long-distance, it might be easier to get an idea of what you're reaching towards. But if you've never met someone, or you reach a point where you've spent more time apart than together, you have to keep your illusions in check. It's so easy for us to picture how perfect things will be and then discover that life is more complicated. It can be done. Absolutely. But it takes an element of sober self-assessment.

Like I said at the beginning of this piece, I can't tell you how to have a perfect or perpetually happy relationship. I can't even guarantee that this will help with the distance problem. I can say, however, that it's a problem that can be overcome. It takes a lot of work and not everyone will pull it off, but it is possible that you can get out of the long-distance situation and have a regular, chaotic, messy local relationship just like everyone else.



"When we know that we can't ever be number one"







That's all about Long Distance Relationships 

Curhat LDR

Story 2 (Curhat LDR book)

LDR is Beautiful!

by: Dwinda Alhuda Arofa

Berada jauh darinya membuat kumengerti sebuah arti kerinduan.Dengarkan kisahnya, maka kau akan temukan aku dan seseorang yang sangat kucintai.


Awal Semptember 2011.
"Huh!" aku menghempaskan diri ke kasur.
Rasanya berat sekali menjalani hari-hari terakhir di rumah sebelum memasuki dunia kuliah yang mengharuskan tinggal di asrama. Bagaimana tidak berat, di sana tidak diperbolehkan membawa barang elektronik yang biasa aku pakai di rumah. Tidak ada laptop, radio, televisi, bahkan yang sudah menjadi kebutuhan primer orang zaman sekarang, HANDPHONE ! Oh tidaaak!!!
Aku memandang sebuah foro ukuran 3R. Potret seorang lelaki yang sedang tersenyum lepas. Namanya, Diki Noris. Nama yang unik. Bermula dari pertemuan saat eskul di SMA, kami saling jatuh cinta lalu menjalin sebuah hubungan hingga saat ini.
Walaupun ia bukan sosok lelaki romantis, seperti Robert Pattinson di layar "Twilight" namun aku senang menjalani hari dengannya. Aku merasa memang inilah yang aku cari sejak dulu.
Ehm, bagaimana ya kalau nanti aku sudah di asrama? Bagaimana bisa berkomunikasi juka tidak ada handphone?
Sepertinya, keadaan sekarang memaksaku untuk mulai mempersiapkan kemungkinan kandasnya hubungan ini. Banyak cerita, pasangan yang masih bisa berkomunikasi lewat telepon, SMS, atau video call saja banyak yang berhenti di  tengah jalan, apalagi aku?
Tiga hal yang sangat membunuhku nanti, jarak yang cukup jauh, backstreet dari orangtua, dan tidak ada alat komunikasi sama sekali! Namun semua ini demi cita-citaku di masa depan. Yeah, menjadi tenaga kesehatan profesional!
Hanya satu yang bisa kulakukan sebelum berangkat ke asrama, menitip pesan kepadanya agar selalu menceritakan segala hal yang terjadi setiap hari melalui pesan di Facebook.

Pertengahan September 2011
Angin malam berhembus keras, menggores perih ujung persendian. Berkali-kali aku mencoba memejamkan mata untuk tidur namun gagal. Coba lagi, dan gagal terus. Rasa gelisah menyelimuti di malam pertama tinggal di asrama. Dunia apa ini? Asrama yang asing, kamar yang asing dengan tempat tidur bertingkat, teman-teman, kakak kelas, ibu asrama, dan kampus. Semua asing bagiku.
Hari-hariku penuh dengan kegalauan. Jika kelas sedang jam kosong, pikiranku tertuju pada Diki. Aku merasa tidak ada yang memperhatikanku sekarang. Tidak ada telinga yang selalu mendengarkan ceritaku tentang segala hal di sekolah.
Ehm, bagaimana ya keadaan dia sekarang? Sehat? Apakah dia bisa mengurus dirinya sendiri tanpa ada yang mengingatkan untuk makan, dan jangan tidur larut malam bersama tugas-tugasnya?
Kalau dulu sih, aku yang selalu mengingatkannya. Take and give. Dia perhatian kepadaku, aku pun begitu. Sekarang, siapa yang akan melakukan itu? Bagaimana juka maagnya kumat? Bagaimana jika ia kurang tidur lagi? Atau, yang lebih buruk, bagaimana jika ia merasa kesepian dan mencari sosok lain?

Oktober 2011
Setelah menjalani masa adaptasi di asrama selama satu bulan, aku dan teman-teman diperbolehkan pulang ke rumah selama tiga hari. Aku manfaatkan waktu itu untuk melepas rindu dengan keluarga, teman-teman, dan pacar.
Hal yang wajib dilakukan adalah mengecek Imbox Facebook. Saat pertama kali aku buka, loading lama sekali. Waw! Ternyata penuh dengan kiriman darinya. Ia menceritakan sedetail-detailnya kegiatan yang dilakukan setiap hari. Mulai dari accident ban motor yang pecah di tengah hujan, maag yang kumat karena tidak makan siang, diare yang mengganggu saat kuliah, pengusiran dosen karena lupa membawa tugas, hingga keberuntungannya mendapat uang Rp 10.000 dalam bungkusan makanan ringan. Aku meneteskan air mata sambil sesekali tertawa membacanya.
Oh iya, ada satu lagi. Kini, ia mulai mengajar privat bagi siswa sekolah dasar untuk mengisi waktu luang. Hasilnya memang tidak seberapa namun yang membuat kubangga, ia menyediakan hari khusus untuk private gratis di rumah bagi tetangganya yang kurang mampu. Ck, ck, ck.
Dengan membaca banyak kiriman dan berbagai foto-fotonya, aku merasa sedang berada di dekat Diki. Ah, andai saja itu terjadi, sekadar memastikan bahwa ia baik-baik saja.
Eh? Tiba-tiba aku mendapat ide cemerlang. Aku segera mendata barang apa saja yang Diki butuhkan, dan bergegas menuju swalayan.
Susu, makanan ringan, hand sanitizers, vitamin C, buku catatan kecil, masker, sarung tangan, jaket dan jas hujan.
"Ya, sudah lengkap," aku manggut-manggut.
Dari cerita-cerita dalam pesan yang ia kirimkan, barang-barang inilah yang ia butuhkan. Memang barang kecil tapi mungkin tak terpikir olehnya.
Semua barang ini ada filosofinya. Susu, makanan ringan, hand sanitizers, dan vitamin C untuk menjaga daya tahan tubuh, agar tidak maag juga diare lagi. Masker, sarung tangan, jaket dan jas hujan tentu untuk perlindungan saat mengendarai motor. Barang yang terpenting adalah buku catatan kecil agar tidak ada yang kelupaan dan tidak ada kasus pengusiran lagi.
Semoga saja ini bermanfaat untuknya. Aku akan berusaha merawatnya dari jarak jauh. Bismillah, aku bungkus semua dan segera mengirimnya melalui jasa pengiriman paket kilat.
"Semoga sampai tempat tujuan," aku mengecup bungkusan itu.

Tak terasa tiga hari telah berlalu, saatnya kembali ke asrama. Waktu itu jam menunjukkan pukul 15:50 WIB, tepat sepuluh menit lagi apel masuk asrama akan mulai. Aku menunggu di halaman depan asrama dengan hati gelisah tak menentu.
Sudah saju jam lebih Diki tidak membalas SMS.
"Kamu ke mana sih?" Balas SMS aku dong!"
Tulilut... Tulilut...
Sebuah SMS masuk. Dari Diki. Buru-buru aku membukanya.

Sayang, aku lagi di RS, habis kecelakaan.

Tanganku gemetar saat membaca SMS tersebut.
Baru aku akan membalasnya, tiba-tiba... klonteng... klonteng... Bel tanda apel siap dimulai telah berbunyi. Setelah apel, dilarang keluar asrama lagi. Segera aku menyerahkan handphone ke ayah, dan masuk asrama untuk mengikuti apel.
Selama apel, mataku terasa pedas sekali menahan air mata yang hampir tumpah. Badanku gemetar rasanya. Ya Tuhan tolong Diki...!!

November 2011
Horeeee!!
Waktunya pulang ke rumah lagi. Rasanya aku ingin berlari menuju rumah. Tak sabar rasanya ingin bertemu keluarga dan juga membaca semua kiriman pesan Diki di Facebook.
"Assalamualaikum...," aku membuka pintu rumah pelan. Mama langsung menyasambutku dengan senyuman, "Waalaikumsalam, sudah pulang Win? Sudah makan belum? Mama sudah buatkan soto ayam kesukaan kamu.
"Belum Mah, wah pasti enak."
"Ya sudah, kamu ganti baju dulu. Mama racikin sotonya."
Sambil mengganti baju, aku sempatkan membuka Facebook. Beberapa pesan yang kubaca cukup membuat lega. Kondisi Diki sudah mulai membaik, dan ia mengucapkan terima kasih atas barang kirimanku yang sangat berguna.
"Win, ayo makan, mumpung masih panas," suara Mama memanggil dari arah dapur.
Kami makan bersama sambil mengobrol seputar asrama dan kuliah.
"Oh iya, Gimana kabar Diki? Sudah baikan?"
Lho? Darimana Mama tahu semua itu? Oh, iya! saat aku menyerahkan handphone, aku belum mematikannya. Mungkin Papa dan Mama membaca SMS dari Diki.
"Besok ajak ke rumah ya, kenalin dengan Papa dan Mama. Sekarang, kamu sudah boleh pacaran kok, kan sudah kuliah."
Wajahku mendadak berubah senang. Akhirnya, setelah backstreet dua tahun lebih, Papa dan Mama merestui. Ah, leganyaaa!

Desember 2011
Suasana malam di jalanan tengah kota sangat penuh sesak tetapi dengan hatiku yang tenang saat berjalan dengan Diki disertai izin resmi dari orangtua. Ciiyeeehh, sekarang sudah enggak backstreet lagi ceritanya.
Malam ini Diki berjanji akan mengajak ke suatu tempat yang sudah ia persiapkan dari jauh hari. Aku jadi penasaran, tempat apa sih?
"Nah, sekarang kita sudah sampai"
"Kenapa kita ke sini? Tempat ini kan mahal."
Ia mengandeng tangan kumasuk. Kami duduk berdua di sebuah pondok yang telah di-booking sebelumnya. Beberapa lilin di meja menemani dengan sinarnya.
Selama makan kami diam seribu bahasa, hanya sesekali saling bertatapan dan tersenyum. Suasana malam itu terasa tenteram sekali. Hingga waktu menunjukkan pukul 21:25 WIB, kami berniat menyudahi acara tersebut.

"Gimana malam ini?"

Aku hanya tersenyum. Habis binggung mau menjawab apa, pertanyaannya saja ambigu. Mungkin ia ingin menanyakan perasaanku, senang atau tidak.
"Ehmm..... Katanya, kamu enggak ada uang? Buat makan siang aja enggak ada sampai maag kamu kumat terus."
"Ya, kalau untuk diri sendiri memang enggak pernah ada uang, tapi kalau utnuk kamu beda cerita."
"Jangan-jangan kamu maling uang orang ya?"
"Enggak lah! Sudahlah enggak usah dibahas!"
Kami terdiam.
"Bintangnya bagus ya?" ucapnya seperti di film-film.
"Iya bagus banget," ucapku berbohong.
Bintang seperti itu kan setiap malam juga ada. Dasar korban televisi. Yah tidak apalah, hitung-hitung mencarikan suasana agar lebih romantis.

"Dwinda...."
"Ya?"
"Boleh minta sesuatu enggak?"
Aduh! Mau minta apa dia? Jangan-jangan, seperti yang di film-film. Gimana kalau dia minta ci....?
"Boleh enggak?"
"Minta apa?"
"Enggak muluk-muluk kok. Ehmm.... aku pengen kamu belajar yang benar di sana, enggak usah mikirin aku. Jangan khawatir, aku enggak akan selingkuh. Aku juga sudah biasa menjaga kesehatan diri sendiri."
"Eh? Kok, kamu tahu kalau aku mikirin itu?"
Ia membuang napas panjang. "Memangnya aku baru sehari-dua hari kenal kamu?"
Ia mencoba mencubit pipi. Aku menepisnya sambil tersenyum.
"Aku di sini bakal jaga diri untuk kamu. Kita berjuang sama-sama ya? Mau kan?"
Aku mengangguk.
"Eh, sini dong aku bisikin."
Ia menarik tanganku. Aku pun mendekatkan telinga.
"Aku sayang kamu."
"Aku juga, " balasku berbisik

Kami mendadak tersipu malu layaknya sepasang kekasih yang baru jadian. Hihihi. Kami tertawa bersama melihat kejadian itu.
Malam ini tak mungkin terlupakan. Indah sekali. Rasanya semenjak jarak menjauhkan seperti ini, kami menjadi lebih saling menyayangi, saling menjaga, dan belajar membangun kepercayaan satu sama lain.
Ah, mungkin inilah indahnya LDR aku dan dia yang tidak bisa dirasakan pasangan lain. Aku merasa bahagia sekali. Terima kasih Tuhan.

-The End-

Tuesday 26 November 2013

Curhat LDR

Story 1 (Curhat LDR book)

Cerita Bersama Hujan

by: Luklukul Maknun

Empat tahun yang lalu...
Bel pulang sekolah berbunyi. Gerimis membasahi tanah. Beberapa menit kemudian hujan benar-benar turun. Seperti anak-anak lain aku urung pulang, mendekam di kelas. Berkendaraan motor di tengah guyuran hujan sangat membahayakan. Aku pernah hampir mati karena jatuh di badan aspal.
Lima belas menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, hujan semakin deras. Anak-anak satu per satu nekat menerobos hujan dengan menggamit tasnya. Beberapa masih setia menunggu hujan reda, termasuk aku. Hujan yang semakin deras dan disertai petir membuat sekolahku terlihat menyeramkan. Beruntung, listrik tidak padam. Sudah hampir 45 menit, hujan tak kunjung reda. Aku mulai bosan. Aku keluar, duduk di bangku depan kelas. Hujan selalu bisa dinikmati. Sejuknya, bau tanah yang terkena air, suara jatuh air. Selalu membuat tenang.
"Hei, kenapa duduk diluar? Dingin kan?" tanya Liyan tiba-tiba.
Meskipun kaget, aku bisa mengontrol diri. Aku tak menjawab pertanyaannya, tetap kembali menikmati suasana hujan siang itu.
"Boleh aku duduk?" tanyannya lagi. Aku memandangnya dan tersenyum. Dia pun duduk di sampingku.
"Hujan selalu membuat tenang, tapi sebenarnya juga membuat resah," kataku membuka pembicaraan.
"Maksudnya?"
"Ya, hujan membuat kita tenang saat kita tidur. Kau tahu, tidur yang paling nyenyang itu saat hujan. Lalu, hujan juga yang membuat resah, karena rumahku sering kebanjiran."
"Menurutku, hujan itu sesuatu yang mengerti perasaan kita. Saat hujan, kau bisa menangis, tertawa, diam, bahkan tidur. Suasana hujan selalu mendukung semua hal yang kita rasakan."
"Ya, tapi hujan tidak mendukungku untuk pulang lebih awal. Lihatlah, sudah jam berapa dan hujan tak berhenti."
Kau tertawa, aku pun tertawa.
"Eh, emm.....sebenarnya aku mau bertanya. Emm.... mengapa kau tak membalas SMS-ku tadi malam?" tanya Liyan ragu.
"Oh, karena aku tak mengerti maksudmu. L_U. Singkatan dari apa itu? Lagi pula aku sudah mengantuk, jadi aku tidur saja. Haha, maaf ya."
"Jadi, kau tak tahu apa artinya L_U?" wajah Liyan terlihat sangat serius. Aku jawab dengan gelengan kepala.
"Mungkin kau bisa bertanya kepada teman dekatmu, yang pasti aku tak akan memberitahumu. Hahaha," katanya dengan wajah menyebalkan lalu berdiri dan pergi.
"Dasar! Menyebalkan!" teriakku.
Awalnya, aku biasa saja. Akhirnya, aku penasaran. Beberapa hari kemudian, aku bertanya kepada sahabatku, Ana.
"Apa? Kau tak tahu? Memang siapa yang mengucapkan itu kepadamu?" Ana balik bertanya.
"Liyan," jawabku singkat.
"Apa? Selamat ya! Aku senang, hahaha....," Ana tak menjawab pertanyaanku. Keningku semakin berkerut. Apa maksudnya?
"Ah, Kia. L_U itu singkatan dari Love yoU. Please, jangan bilang kamu juga tidak tahu arti kata itu," lanjut Ana dengan wajah berbinar-binar.
"Apa?" saat itu aku benar-benar nanar. Liyan? Dasar!

Sejak Ana tahu ungkapan hati Liyan itu, aku selalu mengawasi agar mulutnya tidak ember alias 'banyak omong'. Meskipun dia sahabatku, terkadang bisa keterlaluan kelakuannya. Apalagi setiap ketemu Liyan, aku jadi sering malu.
"Ah, kau memang pandai membuat orang salah tingkah Liyan."
Tanpa harus menjawabnya atau membahasnya, aku dan Liyan semakin dekat saja. Tanpa berkata-kata (sampai berbusa) tentang perasaan, kami saling mengerti. Aku memang tercengang saat Ana memberitahu hal itu kepadaku, tapi sejujurnya aku senang.
Beberapa minggu kemudian, Ana lepas dari pengawasanku. Seisi kelas tahu kedekatan kami.
"Liyan, maafkan aku tak bisa memenjarakan mulut Ana."
Tidak...Tidak... Bukannya marah, Liyan terlihat senang. Entahlah Liyan, kau memang sulit untuk ditebak. Jadilah setiap hari, setiap pelajaran berlangsung, anak-anak menjadikan hubungan kami sebagai headline news. Ah, masa SMA memang terasa indah.
Setelah satu tahun berlalu, sistem sekolah memisahkanku dengannya. Kami tak lagi satu kelas. Meskipun demikian, Liyan masih setia menungguku di depan kelas setiap bel pulang sekolah berbunyi. Kami akan berjalan bersama hingga gerbang sekolah. Cukup begitu.
Hari itu, hujan kembali turun. Kami sedang rapat membahas buletin sekolah. Kebetulan yang manis kami bisa masuk dalam satu organisasi. Kesempatan bertemu di kelas tergantikan dengan perjumpaan di ruang rapat. Itu lebih dari cukup.
Saat rapat selesai, hujan masih saja turun. Teman-teman yang lain, seperti hedak memberi kami kesempatan, langsung berlari menerobos hujan dengan tertawa dan lirikan penuh makna. Jadi, tersisalah kami berdua. Aku masih membereskan berkas-berkas buletin minggu lalu dan beberapa catatan. Liyan keluar ruangan dan berdiri mendongak ke langit. Beberapa saat kemudian aku keluar.
"Masih hujan. Bahaya kan untuk naik motor saat hujan?" tanya Liyan kepadaku. Aku masih sibuk mengenakan sepatu.
"Oh, tidak apa-apa. Ini tidak terlalu deras. Teman-teman yang lain pun sudah berani pulang," kataku sambil tersenyum. Selesai mengikat tali sepatu, aku berdiri.
"Pakailah ini," kata Liyan sambil menyendorkan jaket batiknya. Ternyata dia sudah melepasnya sejak tadi dan hanya memegangnya. Ah Liyan, kau memang selalu mengejutkan.
Aku tersenyum. "Tidak, kau pakai saja. Aku bawa jas hujan di jok motor, jadi jaket tidak terlalu penting. Baiklah, aku pulang dulu ya!" aku menolaknya dengan halus, kemudian berlari menerjang hujan menuju parkiran.
Sebenarnya, saat itu aku berbohong. Tidak aada jas hujan di jok motor. Tidak ada jaket. Sederhana saja alasanku. Pertama, aku tahu kalau dia tidak membawa jas hujan atau payung, dan bersepeda lagi. Mana mungkin aku membiarkannya mengayuh sepeda dalam hujan-hujan tanpa pelindung apa pun?
Aku naik motor, pulang kapan pun bisa. Menunggu sampai hujan teda tak masalah bagiku. Ayah dan Ibu selalu memaklumi, karena mereka lebih khawatir jika aku naik motor saat hujan. Sementara dia? Dia harus pulang segera karena berbagai kesibukannya.
Alasan kedua, aku takut jadi gila. Jaket batiknya nanti bisa kuciumi setiap detik. Kupeluk saat tidur. Kucuci setiap hari. Dan, kubiarkan terus berada di kamarku. Jika itu terjadi, Liyan harus mengucapkan selamat tinggal pada jaketnya. Jadi, selagi masih bisa berpikir waras, aku putuskan menolak pinjaman jaket miliknya. Urusan selesai.

Dua tahun yang lalu
"Kita semua lulus 100%. Aku sangat senang. Oh ya, aku diterima di IPB lho. Yeiyy, aku akan ke Bogor!" kata Liyan dalam suatu perbincangan telepon.
Aku senang, jika dia berbunga-bunga seperti itu. Tapi kalimat terakhirnya membuatku sedih. Aku diam.
"Halo, Kia. Halo... Kau masih disana? Halo?" tanyanya memastikan, setelah tak ada suara dari mulutku.
"Ah, tentu saja aku masih di sini. Selamat ya, kau hebat!" kataku mencoba terdengar tetap riang.
"Bagaimana denganmu? Kau diterima di mana?"
"Aku? Aku diterima di UGM. Yogyakarta dab, hahaha...," saat itu aku sudah menangis tetapi masih bisa mengontrol suara.
Bibirku tersenyum dan tertawa, tetapi kedua mata mengeluarkan air mata. Tidak ada suara. Liyan diam.
"Hei Liyan, kau masih disana? Hahaha...," aku menahan tangis.
"Oh, iya aku masih di sini. Apakah kita akan berpisah? Mengapa kau tak mendaftar ke IPB?" tanya Liyan serius.
"Hei, kau juga mengapa tak mendaftar di UGM?" aku bertanya balik.
Kami tertawa. Saat itu musim hujan belum datang.

Satu tahun yang lalu
"Kau semakin sibuk aja. Masih sempat mengingatku?" tanyaku suatu ketika saat hujan di bumi Yogyakarta. Kata Liyan, saat itu, di Bogor belum turun hujan.
Semakin bertambah tahun, aku semakin takut. Jarak di antara kami membuatku tidak pernah tahu apa yang sedang dilakukan Liyan di sana. Dengan ruang sela sejauh itu, kami sangat berpeluang untuk membohongi sati sama lain. Beberapa kai aku dan dia ragu, lalu mencoba kembali percaya.
"Kau pikir kau tak semakin sibuk? Hahaha... Tenang saja, aku akan selalu mengingat satu nama mahasiswa UGM K-I-A," jawab Liyan meyakinkan.

Beberapa hari yang lalu
Kami benar-benar putus komunikasi. SMS dan telepon Liyan selalu datang di saat yang tidak tepat. Saat aku rapat. Saat aku debat. Bahkan saat aku ujian. Hal yang sama terjadi saat aku menghubunginya.
Liyan mengatakan bahwa aku tak pernah mengerti keadaannya. Katanya, aku sudah bahagia jadi kehadirannya tidak penting. Katanya lagi, aku sudah dapat penggantinnya.
Ternyata rasa khawatir Liyan jauh lebih besar. Aku sadar telah salah karena terlalu mengabaikannya. Beberapa pertengkaran selalu bisa kami atasi, tapi tidak dengan adu pendapat tentang jarak dan waktu.
Waktu itu hujan pertama membasahi Yogyakarta setelah panas tak terkira. Bau tanah akibat tempias hujan semakin membawaku pada suasana melankolis. Saat itulah aku tulis curahan hati ini untuknya.

"Apa kau pernah berpikir begini,
"Sementara aku di sini berjuang mempertahankan satu perasaan, apakah di sana dia juga berjuang sepertiku?"
Jika kau berpikir begitu, buang jauh, buang jauh pemikiran seperti itu! Kita hanya perlu berjuang dan percaya, tanpa keraguan yang meresahkan. Percayalah, jika kau berjuang di sana, aku pun berjuang di sini. Bagaimanapun sikapku kepadamu, bagaimanapun sikamu kepadaku, ingatlah bahwa perempuan cenderung lebih setia, dan aku berusaha menjadi salah satunya. Percayalah."

Bukan berarti aku menuduhnya tidak setia. Aku hanya berkata, kalau perempuan cenderung lebih setia.
"Liyan, percayalah. Aku disini masih mempertahankan rasaku kepadamu."


-THE END-