Thursday 28 November 2013

Curhat LDR

Story 3 (Curhat LDR book)

Jam Tangan

by: Gagak Sandoro


"Aku sudah sampai di Padang.
Maaf ya, mulai sekarang hubungan kita
semakn jauh lagi. Terhalang pulau
Sumatra dan Jawa. Tapi, mau gimana lagi?
Aku sayang sama kamu, Dit."

Begitulah ucapnya dalam pesan singkat yang menyambangi ponselku. Fiuh! Aku mengambil nafas panjang dan menghembusnya perlahan. Tidak pernah terkira sebelumnya kalau kita berdua akan menjalani hubungan jarak jauh. Sekian lama bersama, ada rasa tidak rela kalau dia harus pergi jauh dari sini. Bukan bentangan belasan kilometer lagi, tapi kami harus terpisah oleh dua pulau, Jawa dan Sumatra. Huft, enggak rela.

"Enggak apa-apa kok. Aku juga enggak bisa
nolak apa yang udah terjadi sama kita kan?
Kamu sudah makan belum? Ingat, jaga diri.
Jangan nakal sama cowok lain ya! :)"

Beberapa saat kemudian, aku sudah mengirim balasan kepadanya.

Kami duduk berdampingan di bangku taman. Seperti biasa, jadwal jalan sebulan sekali kami adalah duduk di tempat ini. Menghabiskan waktu dari pagi sampai sore untuk menikmati keindahan taman sembari mengobrol riang dengan Annisa, pacarku.
Kali ini tidak seperti biasanya, Annisa hanya diam mendengarkan semua ocehanku. Sesekali hanya anggukan atau senyum tipis sebagai jawaban darinya. Ada apa?
"Dit, gimana kalau hubungan kita enggak bertahan lama?" tanyanya gamang.
"Memangnya kenapa?"
"Habis lulus aku pindah ke Padang."

Untuk beberapa saat kami diam. Aku kalut dalam pikiran. Mungkin perempuan yang berada di sampingku juga merasakan hal yang sama.
Angin sore meniupkan rambut kami. Menggoyangkannya ke sana kemari. Satu tahun sudah kami lalui bersama. Dari awal tidak ada yang pernah sedikit pun terpikir akan berhubungan jarak jauh. Apa aku bisa menahan godaan untuk tidak selingkuh? Apa dia bisa menahan hasrat hatinya saat jauh dari aku? Ah, Tuhan....
Aku memandangnya. Mendengarkan ucapan Nisa sebaik mungkin.
"Kalau memang enggak bisa bertahan sama aku, kamu boleh kok mutusin aku," tambahnya.
Aku  tidak berkomentar apa pun selama dia bicara. Diriku masih dalam keadaan galau. Saat-saat seperti ini aku ingat akan janjiku dulu. Janji yang harus kutepati sebagai laki-laki sejati. Ya, harus aku tepati.
Aku tersenyum semanis mungkin, lalu menjawab, "Nis, aku enggak bisa dan enggak akan pernah bisa mutusin perempuan yang sudah jadi pacarku sekarang. Kalau kamu memang harus pergi, ya sudah. Kita kan bisa berhubungan jarak jauh."
"Memang kamu kuat? Cowok kayak kamu kalau enggak ada aku pasti selingkuhnnya bereceran," ucapnya dengan disusul tawa khasnya. Aku juga ikut tertawa dengannya.
"Setelah lulus ya? Berarti masih ada waktu beberapa bulan lagi untuk bersenang-senang. Aku mau manfaatin kamu ah."
"Enak aja, memang aku cewek apaan? Udah sore nih, ayo pulang!" dengan cemberut dia menarik tanganku untuk pulang.
Saat menunggu bus, pikiranku lagi-lagi terbang memikirkan apa yang akan terjadi saat kita sudah berjauhan. Menurut teman0teman yang sudah pernah merasakan LDR, virus malarindu akan terus menguat kalau tidak bertemu dengan sang pacar. Biasanya pula hubungan jarak jauh tidak akan pernah bertahan lama. Haduh, apa aku bisa menjalaninya nanti? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiranku.

Aku buka pesan-pesan dari Nisa yang masih tersisa di ponsel atau jejaring sosial untuk sekadar menghilangkan rasa rindu setelah beberapa hari ia tidak menghubungi. Aku membacanya satu demi satu semua pesan Nisa. Seringkali aku tersenyum sendiri saat mengingat berbagai kejadian saat pesan-pesan itu dikirim.

"Jadi, menurut kamu solusi yang pas buat masalah ini apa?"

Pesan dari masa lampau itu datang dari Annisa. Kami berdua saling melempar opini tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Dari hal remeh-temeh sampai penting seperti kualitas pendidikan di negeri ini.
Aku kenal Nisa lewat jejaring sosial, Facebook. Kami berdia sama-sama penggemar film Hary Potter. Di grup yang mewadahi fans seperti kami inilah awal aku dan Nisa bertemu. Di dalam grup itu ada sebuah acara yang mewajibkan anggotanya untuk berpasang-pasangan. Saat itu, partnerku adalah Nisa.
Setelah acara selesai, aku dan Nisa mulai sering mengobrol lewat pesan di FB. Aku tidak meminta nomor pribadinya, karena ada kesenangan yang tidak bisa dijelaskan saat aku menunggu pesan darinya mendarat dengan sempurna ke akunku.
Seiring waktu berlalu kami berdua janjian untuk kopi darat. Pada pertemuan keempat, akhirnya aku memberanikan diri untuk menembaknya. Dengan anggukan mantap dan wajah menunduk, Nisa bilang mau menjadi pacarku. Duh, senangnya!

"Dit, sudah tiga bulan kita menjalani
hubungan jarak jauh.
Hari ini jadwal kita buat jalan ke taman
kan? Andai saja kamu dekat aku....
Oh ya, sekolahku mayoritas perempuan,
jadi kamu tenang saja, aku enggak akan
macem-macem. Misalkan, kamu sudah enggak
tahan sama hubungan jarak jauh kita, aku
ikhlas kok. Beneran deh!"

Aku tidak tahu pesan Nisa ini sampai pukul berapa di Inbox FB-ku. Pacarku itu memang lebih sering menghubungi lewat FB, karena orangtuannya melarang ia menggunakan ponsel.
Aku mendengus kesal. Ini sudah ke sekian kali Nisa mencoba untuk merelakanku untuk pergi mencari pacar baru. Tentu aku menolak. Apa dia tidak tahu betapa aku sayang kepadanya? Memang, terkadang aku sempat berpikir untuk main serong dengan perempuan lain. Tapi, itu cuma pikiran liar yang menyusupi otakku saja.

"Nis, kamu jangan ngomong kaya gitu lah.
Kamu ingat ya, aku enggak akan pernah cari
pacar lain sebelum kamu mutusin aku lebih
dulu. Apa pun yang terjadi aku belajar
untuk setia sama satu orang. Ini janjiku.
Kalau masih nyuruh aku untuk cari pacar
lagi, aku marah sama kamu!"

Aku membalas pesan Nisa dengan sedikit gertakan. Semoga saja dia tidak pernah lagi membahas hal ini.
Sejam kemudian balasannya kembali datang. Katanya dia terlalu takut untuk jauh dariku. Nisa bilang, seandainya punya pintu ke mana saja milik Doraemon, mungkin sekarang dia dan aku sudah duduk bersama tanpa khawatir bentangan pulau yang memisahkan kita. Aku tidak bisa berhenti tersenyum saat membayangkan Nisa berbicara seperti itu dengan sikapnya yang manja. Ah, andai saja khayalannya itu menjadi kenyataan.

Malam minggu. Setelah Annisa pergi, tidak ada yang istimewa dengan hari ini. Kalau setahun yang lalu sih, malam minggu adalah waktu kami untuk menyantap martabak dan minum jahe susu di taman kompleks rumahnya. Sekarang? Kami hanya bisa bertahan dengan pesan mesra saja. Tanpa ada berpikiran untuk bertemu, duduk berdua kembali, nonton bareng, dan hal lain yang masih kita lakukan bersama.
Aku terkadang merutuki Tuhan. Kenapa Tuhan menakdirkan orangtuanya untuk pergi dari sini? Aku tak bisa menahan iri saat teman0teman sedang makan atau jalan dengan pacarnya. Teman-teman pun sering bertanya kapan aku mengajak pacarku untuk jalang bareng. Aku hanya diam. Karena, hanya itu jawaban yang bisa aku berikan untuk pertanyaan mereka.
Sudah beberapa minggu, Nissa tidak mengirimiku pesan kembali. Aku terus mencoba setia dan tetap menunggu. Mungkin dia sedang sibuk, tidak punya pulsa, tugas sedang menumpuk, atau dia sedang dikurung oleh orangtuanya.
Di saat sepi seperti ini, pikiran untuk main serong semakin kuat. Aku tengah dilanda krisis kasih sayang. Entah ada setan apa yang memaksaku untuk melakukan ini.

"Nisa, aku menyelingkuhimu. Aku menerima adik
kelas yang selalu mengejar-ngejarku. Adik kelas yang
kuceritakan kepadamu waktu itu. Aku tahu aku salah.
Tapi, aku tidak bisa menolak ini."

Sampai waktu berlalu dan menjadi kenangan. Sekarang, aku masih menunggu perempuan pertama yang menjadi pacarku. Tapi, aku juga ditemani oleh peran pengganti Annisa.
Aku tidak sadar telah melakukan ini. Aku bingung. Aku butuh pacar nyata. Yang selalu ada di sampingku. Aku tahu telah mengkhianati janji. Hal ini terjadi begitu saja.

"Dit, kamu ingat tanggal 22? Ya, hari
jadi kita. Aku enggak tahu paket ini akan
sampai tanggal berapa. Tapi, semoga saja
pas di tanggal 22, hehe... Maaf, sudah
lama aku enggak menghubungi kamu. Aku
nabung untuk ngasih jam itu, Dit. Jam
couple loh. Ini sebagai hadiah karena kamu
sudah nepatin janji enggak akan selingkuh.
Foto di dalam paket, itu aku lagi make
pasangan dari jam kamu. Nanti kamu juga
harus foto sama jam itu ya!"

Aku tergugu tidak bisa bicara. Sejam yang lalu aku mendapati pak pos mampir ke rumah dan memberikan paket ini. Paket dari Annisa yang berisi jam tangan dan sebuah surat. Paket sebagai hadiah untuk kesetiaanku selama ini. Bagaimana kalau dia tahu aku tidak menepati janji? Apa dia masih mau memberiku jam tangan ini? Nissa, maafkan aku. Jaga dirimu baik-baik di sana.


-The END-

No comments:

Post a Comment