Sunday 1 December 2013

Curhat LDR

Story 5 (Curhat LDR book)

Sang Penakluk Jarak

by: Ramundro


"Cinta tak mengenal batas dan jarak. Seberapa pun
jarak memisahkan, asal cinta tetap di dada, jarak
hanya akan menjadi pecundang di antara dua insan
yang saling mencinta"

Gadis itu bernama rania. Lima tahun yang lalu gue bertemu dengan Ranida di sekolahnya, SMA 1 Purwodadi. Waktu itu gue memenuhi undangan Emi. Ia adalah salah satu teman SMP gue yang kemudian satu sekolah dengan Rania. Kebetulan, setelah SMP gue melanjutkan SMA di Semarang, sehingga harus terpisah dengan teman-teman SMP yang setia dengan kota kecil kami, Purwodadi. Salah satunya Emi, teman terbaik gue.
"Co, lagi dimana? Lagi liburan sekolah kan?" tanya Emi lewat telepon.
"Lagi di rumah aja. Kenapa?"
"Ke SMA gue ya? Reuni sama teman-teman SMP."

Gue yang waktu itu lagi bosen tingkat dewa, tanpa pikir panjang langsung mengiyakan ajakan Emi.
Enggak perlu waktu lama bagi gue untuk ketemu Emi. Ternyata dia sudah menunggu di gerbang sekolah bersama temannya yang dari jauh tampak seperti peri kecil cantik.

"Yang lain mana?" tanya gue sesaat sampai di depan mereka.

Entah kenapa, saat bertanya kepada Emi, mata gue malah tertuju pada peri kecil di sebelah teman gue itu. Salah fokus. Sepertinya, gadis itu tahu kalau sedang gue lihatin, karena detik berikutnya dia langsung menundukkan kepala dan memegangi baju Emi dengan erat.

"Memang gue nyeremin apa ya, sampai dia pegangan gitu!" kata gue dalam hati.

Samar-samar gue juga mendengar Emi berbisik kepada gadis itu, "Apaan sih Ran, pegang-pegang gitu!"

Tapi, peri kecil itu tidak mempedulikannya dan terus memegangi baju Emi.

"Teman-teman masih di dalam kayaknya deh. Gue panggil dulu ya!" jawab Emi.

Gue membalas dengan acungan jempol.

"Ran, lo di sini aja nemenin Coco!" kata Emi kepada Rania sebelum mau pergi.

Rania menggeleng. Tangannya masih memegang baju Emi dengan erat. Gue sendiri hanya bisa tersenyum melihat kejadian itu.

"Kamu di sini aja Ran, nemenin Coco! Kasihan kan, dia kan bukan anak sini!"

Rania tetap menggeleng. Gue yang berusaha tidak mengganggu perdebatan dua hawa itu berusaha menengahi.

"Gue sendirian aja enggak apa-apa kok Em. Lo pergi aja sana sama... Siapa tadi?" kata gue.

"Rania," kata Rania pelan. Tapi, lebih dari cukup untuk membuat hati gue berdebar seketika.

"Biarin aja Rania ikut sama elo!" gue melanjutkan.

Namun Emi yang terkenal keras kepala, segera melepaskan pegangan Rania, dan berlari meninggalkan Rania di hadapan gue. Serta merta pipi si peri kecil memerah.

"Manis banget," pikir gue, yang langsung gue tepis dengan menggelengkan kepala.

Sepuluh menit berlalu kami lewati dengan diam. Rania hanya menunduk malu, sedangkan gue enggak tahu harus ngomong apa.
Dua puluh menit kemudian Emi belum datang juga.

"Ke mana sih ini anak! Lama bener," kata gue dalam hati.

Namun, dalam keheningan itu, tiba-tiba gue mendengar satu suara lembut, selembut kicauan burung di pagi hari.

"Kamu masih ingat enggak pernah ngobrol sama aku?" kata Rania

Gue yang kaget dan enggak tahu ke mana ujung pembicaraan cuma bisa bengong sambil berkata, "Hah?"

"Iya, kita pernah ngobrol sebelumnya. Kamu ingat enggak?"
"Masak? Kapan?" tanya gue sambil mencoba berlari ke memori masa lalu. Percuma, karena sepertinya gue belum pernah bertemu Rania sebelumnya.

"Sekitar dua bulan yang lalu. Chatting," Rania mencoba menjelaskan. Karena, benar-benar enggak ingat, gue cuma bisa menggeleng.

"Waktu itu kamu ngomongnya ketus banget, galak. Jadi hari berikutnya kamu langsung aku delete dari kontak. Hehe," dia tersenyum. Oh Tuhan, manis sekali.

Gue yang masih kebingungan mencoba membongkar gudang memori namun tetap saja tak menemukan nama Rania di sana. Yang bisa gue lakuin hanya bertanya lagi sambil menampilkan senyum terbaik gue, "Oya? Masak sih?"

Dia hanya mengangguk dan tersenyum lagi. Tuhan...
Kecanggungan yang tadi menyelimuti, kini berubah menjadi obrolan menyenangkan.

Dalam hati gue berkata, "Lo pergi yang lama aja, Em! Biar gue bisa lama-lama melihat mata indah Rania, senyumnya, lesung pipinya, dan semua tentang Rania."

Gue jatuh cinta.

Lewat obrolan itu, gue berhasil meminta nomor Rania. Tak mau membuang waktu dan kesempatan, sesaat setelah Rania memberikan nomornya, gue langsung mengirim pesan singkat kepada gadis itu.

"Gue baru saja ketemu bidadari kecil, dan gue rasa gue jatuh cinta!"

Tak berapa lama, ponsel Rania berdering. Setelah membaca pesan yang gue kirim, mukanya langsung berubah merah. Tanpa melihat ke arah gue, dia langsung membalas pesan singkat gue dengan emoticon.

" :) "

Gue tersenyum.
Gue dan Rania semakin dekat. Tak pernah sehari pun terlewatkan tanpa pesan singkat darinya. Tak pernah sehari pun gue lewati tanpa mengingat namanya. Gue bener-bener jatuh cinta.

Sisa liburan benar-benar gue manfaatkan buat mendekati Rania. Ketika sekolah sudah masuk, maka jarak akan memisahkan kita berdua.
Tak ingin membuang kesempatan, sehari sebelum liburan usai, gue nembak Rania.

"Ran, gue mau ngomong," kata gue memulai pembicaraan.
"Ngomong, ya ngomong aja Co!" jawab Rania enteng.
"Mau enggak lo jadi pacar gue?"

Rania tampak sedikit terkejut. Tidak seterkejut seperti yang gue bayangin sih. Gue kira, Rania bakal membuka mulutnya lebar-lebar karena terkejut, layaknya adegan di sinetron-sinetron. Ternyata tidak. Rania cukup tenang, sehingga adegan itu tidak pernah terjadi.

"Kamu yakin? Kita baru kenal seminggu loh! Nanti kamu nyesel!" kata dia.

Ya, kami memang baru kenal seminggu. Tapi entah kenapa, gue seperti sudah lama kenal Rania. Dan, fakta gue langsung suka sama Rania pada pandangan pertama, sudah membuktikan segalanya. Gue memang benar-benar suka sama Rania.

"Yakin!" kata gue tegas.
"Kenapa kamu bisa seyakin itu?"
"Karena, gue enggak pernah suka sama orang kayak gue suka sama kamu. Bahkan saat pertama kali kita ketemu, gue sudah yakin kalau gue suka sama kau. Dan, menurut gua itu sudah lebih dari cukup untuk menyakinkan diri gue sendiri bahwa gue memang benar-benar suka sama Rania, peri kecil yang cantik."

Wajah Rania tampak memerah. Ada sekiti senyum di sana tapi kemudian hilang termakan pertanyaan berikutnya.

"Dan, kalau gue jawab enggak?"
"Gue bakal nembak kamu lagi!"
"Kalau gue bilang enggak lagi?"
"Gue bakal nembak kamu lagi!"
"Sampai kapan?"
"Sampai kamu milih orang lain buat jadi pasangan. Saat itulah gue baru akan nyerah!"
Rania terdiam. Lalu, kembali seberkas senyum tercetak di sana, "Oke, gua mau jadi pacar kamu!"
Gue pun tersenyum, "Terima kasih peri kecilku!"

Selama setahun lebih, hubungan gue dan Rania terbilang lancar. Meskipun sekolah di kota yang berbeda, tapi jarak tak pernah mengikis cinta kami berdua. Enam puluh kilo meter bukan apa-apa dibanding cinta kami. Meski rindu kadang menyiksa bak pahitnya empedu, tapi semua kami jadikan jamu agar saat mata saling bertemu, cinta ini semakin satu.
Sampai akhirnya, jarak benar-benar ingin menguji cinta kami. Gue harus magang di Jakara, dan terpisah 500 km lebih dari Rania selama enam bulan.

Hari demi hari menjadi siksaan berat bagi kami. Apalagi gue bukan dari keluarga kaya yang bisa seenaknya pulang ke Purwodadi. Seenggaknya gue harus menabung sebelun atau bahkan lebih untuk bisa pulang.
Berkali-kali Rania bilang, kalau rindu dan ingin sekali bertemu. Jujur, itu membuat gue sakit. Bagaimana enggak, orang yang sangat kita cintai mengatakan rindu dan ingin bertemu, sementara kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk meredam rindu itu. Satu-satunya yang bisa gue lakukan adalah mengirim pesan singkat atau menghiburnya lewat telepon. Tapi, apakah suara bisa menggantikan pandangan mata? Itu masalahnya.

Setelah menunggu selama sebulan, akhirnya gue punya cukup uang untuk pulang. Sengaja gue enggak ngasih tahu Rania kalau mau pulang. Gue ingin ngasih surprise kepada peri kecil gue itu. Baru setelah perjalanan kurang dari satu jam, gue mengirim pesan singkat kepada Rania.

"Lagi di mana say?" kata gue.
"Di Jogja. Lagi acara sekolah selama tiga hari balasnya.
Waktu itu tubuh gue seketika membeku. "Apa gunanya gue ke Purwodadi, kalau Rania sedang berada di Jogja?" kata gue dalam hati. "Tapi, gue harus ketemu Rania!"

Tanpa pikir panjang, gue langsung turun dari bus. Gue mencari bus lain untuk menuju ke Jogja. Butuh waktu lebih dari empat jam untuk sampai ke kota tempat Rania berada.
Waktu itu gue sudah enggak berpikir lagi soal keadaan dompet. Bagaimana menemukan Rania di luasnya kota Jogja? Atau, bagaimana gue pulang? Gue sudah enggak peduli apa pun kecual bertemu peri kecil gue.
Perjuangan gue akhirnya membuahkan hasil. Seusai zuhur, gue bertemu Rania. Tak tergambarkan bagaimana perasaan gue saat itu. Rania menyambut kedatangan gue dengan senyum lebar. Cukup lama kami berpelukan untuk melepaskan rindu yang sudah membatu.

Namun tampaknya waktu masih belum berkenan. Tak lama, teman-teman Rania memanggilnya untuk kembali mengikuti acara sekolah mereka. Dia memandangi gue lama. Dari matanya terlihat tetes air mata yang tertahan.

"Maaf ya, aku harus pergi!" katanya pelan.

Gue yang sebenarnya tak ingin melepaskan Rania, tak bisa berbuat banyak kecuali mempersilakannya meninggalkan gue. Sambil tersenyum kecil, agar Rania tidak khawatir, gue berkata.

"Gue bakal lihatin kamu senyum dari sini!"

Meskipun hanya sebentar, tapi pertemuan dengan Rania membuat gue punya satu pemikiran. Seberapa jauh jarak membentang dan seberapa lama waktu memisahkan, asalahkan cinta tetap terjaga dan rasa saling percaya masih sempurna, tak ada yang bisa memisahkan gue dan Rania. Gue jadi enggak peduli bagaimana rindu begitu menyiksa, karena gue yakin, ketika bertemu, Rania akan menjadi obat penawarnya. Gue juga enggak peduli bagaimana jarak dan waktu menyisipkan prasangka buruk dan cemburu, karena gue percaya kesetiaan Rania sama dengan kesetian Sinta bagi sang Rama.

Pada akhirnya, gue dan Rania bisa membuktikan bahwa bagi kami berdua, jarak hanyalah pecundang. Cinta kami berdua adalah pemenangnya.


-The END-


No comments:

Post a Comment