Tuesday 26 November 2013

Curhat LDR

Story 1 (Curhat LDR book)

Cerita Bersama Hujan

by: Luklukul Maknun

Empat tahun yang lalu...
Bel pulang sekolah berbunyi. Gerimis membasahi tanah. Beberapa menit kemudian hujan benar-benar turun. Seperti anak-anak lain aku urung pulang, mendekam di kelas. Berkendaraan motor di tengah guyuran hujan sangat membahayakan. Aku pernah hampir mati karena jatuh di badan aspal.
Lima belas menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, hujan semakin deras. Anak-anak satu per satu nekat menerobos hujan dengan menggamit tasnya. Beberapa masih setia menunggu hujan reda, termasuk aku. Hujan yang semakin deras dan disertai petir membuat sekolahku terlihat menyeramkan. Beruntung, listrik tidak padam. Sudah hampir 45 menit, hujan tak kunjung reda. Aku mulai bosan. Aku keluar, duduk di bangku depan kelas. Hujan selalu bisa dinikmati. Sejuknya, bau tanah yang terkena air, suara jatuh air. Selalu membuat tenang.
"Hei, kenapa duduk diluar? Dingin kan?" tanya Liyan tiba-tiba.
Meskipun kaget, aku bisa mengontrol diri. Aku tak menjawab pertanyaannya, tetap kembali menikmati suasana hujan siang itu.
"Boleh aku duduk?" tanyannya lagi. Aku memandangnya dan tersenyum. Dia pun duduk di sampingku.
"Hujan selalu membuat tenang, tapi sebenarnya juga membuat resah," kataku membuka pembicaraan.
"Maksudnya?"
"Ya, hujan membuat kita tenang saat kita tidur. Kau tahu, tidur yang paling nyenyang itu saat hujan. Lalu, hujan juga yang membuat resah, karena rumahku sering kebanjiran."
"Menurutku, hujan itu sesuatu yang mengerti perasaan kita. Saat hujan, kau bisa menangis, tertawa, diam, bahkan tidur. Suasana hujan selalu mendukung semua hal yang kita rasakan."
"Ya, tapi hujan tidak mendukungku untuk pulang lebih awal. Lihatlah, sudah jam berapa dan hujan tak berhenti."
Kau tertawa, aku pun tertawa.
"Eh, emm.....sebenarnya aku mau bertanya. Emm.... mengapa kau tak membalas SMS-ku tadi malam?" tanya Liyan ragu.
"Oh, karena aku tak mengerti maksudmu. L_U. Singkatan dari apa itu? Lagi pula aku sudah mengantuk, jadi aku tidur saja. Haha, maaf ya."
"Jadi, kau tak tahu apa artinya L_U?" wajah Liyan terlihat sangat serius. Aku jawab dengan gelengan kepala.
"Mungkin kau bisa bertanya kepada teman dekatmu, yang pasti aku tak akan memberitahumu. Hahaha," katanya dengan wajah menyebalkan lalu berdiri dan pergi.
"Dasar! Menyebalkan!" teriakku.
Awalnya, aku biasa saja. Akhirnya, aku penasaran. Beberapa hari kemudian, aku bertanya kepada sahabatku, Ana.
"Apa? Kau tak tahu? Memang siapa yang mengucapkan itu kepadamu?" Ana balik bertanya.
"Liyan," jawabku singkat.
"Apa? Selamat ya! Aku senang, hahaha....," Ana tak menjawab pertanyaanku. Keningku semakin berkerut. Apa maksudnya?
"Ah, Kia. L_U itu singkatan dari Love yoU. Please, jangan bilang kamu juga tidak tahu arti kata itu," lanjut Ana dengan wajah berbinar-binar.
"Apa?" saat itu aku benar-benar nanar. Liyan? Dasar!

Sejak Ana tahu ungkapan hati Liyan itu, aku selalu mengawasi agar mulutnya tidak ember alias 'banyak omong'. Meskipun dia sahabatku, terkadang bisa keterlaluan kelakuannya. Apalagi setiap ketemu Liyan, aku jadi sering malu.
"Ah, kau memang pandai membuat orang salah tingkah Liyan."
Tanpa harus menjawabnya atau membahasnya, aku dan Liyan semakin dekat saja. Tanpa berkata-kata (sampai berbusa) tentang perasaan, kami saling mengerti. Aku memang tercengang saat Ana memberitahu hal itu kepadaku, tapi sejujurnya aku senang.
Beberapa minggu kemudian, Ana lepas dari pengawasanku. Seisi kelas tahu kedekatan kami.
"Liyan, maafkan aku tak bisa memenjarakan mulut Ana."
Tidak...Tidak... Bukannya marah, Liyan terlihat senang. Entahlah Liyan, kau memang sulit untuk ditebak. Jadilah setiap hari, setiap pelajaran berlangsung, anak-anak menjadikan hubungan kami sebagai headline news. Ah, masa SMA memang terasa indah.
Setelah satu tahun berlalu, sistem sekolah memisahkanku dengannya. Kami tak lagi satu kelas. Meskipun demikian, Liyan masih setia menungguku di depan kelas setiap bel pulang sekolah berbunyi. Kami akan berjalan bersama hingga gerbang sekolah. Cukup begitu.
Hari itu, hujan kembali turun. Kami sedang rapat membahas buletin sekolah. Kebetulan yang manis kami bisa masuk dalam satu organisasi. Kesempatan bertemu di kelas tergantikan dengan perjumpaan di ruang rapat. Itu lebih dari cukup.
Saat rapat selesai, hujan masih saja turun. Teman-teman yang lain, seperti hedak memberi kami kesempatan, langsung berlari menerobos hujan dengan tertawa dan lirikan penuh makna. Jadi, tersisalah kami berdua. Aku masih membereskan berkas-berkas buletin minggu lalu dan beberapa catatan. Liyan keluar ruangan dan berdiri mendongak ke langit. Beberapa saat kemudian aku keluar.
"Masih hujan. Bahaya kan untuk naik motor saat hujan?" tanya Liyan kepadaku. Aku masih sibuk mengenakan sepatu.
"Oh, tidak apa-apa. Ini tidak terlalu deras. Teman-teman yang lain pun sudah berani pulang," kataku sambil tersenyum. Selesai mengikat tali sepatu, aku berdiri.
"Pakailah ini," kata Liyan sambil menyendorkan jaket batiknya. Ternyata dia sudah melepasnya sejak tadi dan hanya memegangnya. Ah Liyan, kau memang selalu mengejutkan.
Aku tersenyum. "Tidak, kau pakai saja. Aku bawa jas hujan di jok motor, jadi jaket tidak terlalu penting. Baiklah, aku pulang dulu ya!" aku menolaknya dengan halus, kemudian berlari menerjang hujan menuju parkiran.
Sebenarnya, saat itu aku berbohong. Tidak aada jas hujan di jok motor. Tidak ada jaket. Sederhana saja alasanku. Pertama, aku tahu kalau dia tidak membawa jas hujan atau payung, dan bersepeda lagi. Mana mungkin aku membiarkannya mengayuh sepeda dalam hujan-hujan tanpa pelindung apa pun?
Aku naik motor, pulang kapan pun bisa. Menunggu sampai hujan teda tak masalah bagiku. Ayah dan Ibu selalu memaklumi, karena mereka lebih khawatir jika aku naik motor saat hujan. Sementara dia? Dia harus pulang segera karena berbagai kesibukannya.
Alasan kedua, aku takut jadi gila. Jaket batiknya nanti bisa kuciumi setiap detik. Kupeluk saat tidur. Kucuci setiap hari. Dan, kubiarkan terus berada di kamarku. Jika itu terjadi, Liyan harus mengucapkan selamat tinggal pada jaketnya. Jadi, selagi masih bisa berpikir waras, aku putuskan menolak pinjaman jaket miliknya. Urusan selesai.

Dua tahun yang lalu
"Kita semua lulus 100%. Aku sangat senang. Oh ya, aku diterima di IPB lho. Yeiyy, aku akan ke Bogor!" kata Liyan dalam suatu perbincangan telepon.
Aku senang, jika dia berbunga-bunga seperti itu. Tapi kalimat terakhirnya membuatku sedih. Aku diam.
"Halo, Kia. Halo... Kau masih disana? Halo?" tanyanya memastikan, setelah tak ada suara dari mulutku.
"Ah, tentu saja aku masih di sini. Selamat ya, kau hebat!" kataku mencoba terdengar tetap riang.
"Bagaimana denganmu? Kau diterima di mana?"
"Aku? Aku diterima di UGM. Yogyakarta dab, hahaha...," saat itu aku sudah menangis tetapi masih bisa mengontrol suara.
Bibirku tersenyum dan tertawa, tetapi kedua mata mengeluarkan air mata. Tidak ada suara. Liyan diam.
"Hei Liyan, kau masih disana? Hahaha...," aku menahan tangis.
"Oh, iya aku masih di sini. Apakah kita akan berpisah? Mengapa kau tak mendaftar ke IPB?" tanya Liyan serius.
"Hei, kau juga mengapa tak mendaftar di UGM?" aku bertanya balik.
Kami tertawa. Saat itu musim hujan belum datang.

Satu tahun yang lalu
"Kau semakin sibuk aja. Masih sempat mengingatku?" tanyaku suatu ketika saat hujan di bumi Yogyakarta. Kata Liyan, saat itu, di Bogor belum turun hujan.
Semakin bertambah tahun, aku semakin takut. Jarak di antara kami membuatku tidak pernah tahu apa yang sedang dilakukan Liyan di sana. Dengan ruang sela sejauh itu, kami sangat berpeluang untuk membohongi sati sama lain. Beberapa kai aku dan dia ragu, lalu mencoba kembali percaya.
"Kau pikir kau tak semakin sibuk? Hahaha... Tenang saja, aku akan selalu mengingat satu nama mahasiswa UGM K-I-A," jawab Liyan meyakinkan.

Beberapa hari yang lalu
Kami benar-benar putus komunikasi. SMS dan telepon Liyan selalu datang di saat yang tidak tepat. Saat aku rapat. Saat aku debat. Bahkan saat aku ujian. Hal yang sama terjadi saat aku menghubunginya.
Liyan mengatakan bahwa aku tak pernah mengerti keadaannya. Katanya, aku sudah bahagia jadi kehadirannya tidak penting. Katanya lagi, aku sudah dapat penggantinnya.
Ternyata rasa khawatir Liyan jauh lebih besar. Aku sadar telah salah karena terlalu mengabaikannya. Beberapa pertengkaran selalu bisa kami atasi, tapi tidak dengan adu pendapat tentang jarak dan waktu.
Waktu itu hujan pertama membasahi Yogyakarta setelah panas tak terkira. Bau tanah akibat tempias hujan semakin membawaku pada suasana melankolis. Saat itulah aku tulis curahan hati ini untuknya.

"Apa kau pernah berpikir begini,
"Sementara aku di sini berjuang mempertahankan satu perasaan, apakah di sana dia juga berjuang sepertiku?"
Jika kau berpikir begitu, buang jauh, buang jauh pemikiran seperti itu! Kita hanya perlu berjuang dan percaya, tanpa keraguan yang meresahkan. Percayalah, jika kau berjuang di sana, aku pun berjuang di sini. Bagaimanapun sikapku kepadamu, bagaimanapun sikamu kepadaku, ingatlah bahwa perempuan cenderung lebih setia, dan aku berusaha menjadi salah satunya. Percayalah."

Bukan berarti aku menuduhnya tidak setia. Aku hanya berkata, kalau perempuan cenderung lebih setia.
"Liyan, percayalah. Aku disini masih mempertahankan rasaku kepadamu."


-THE END-

No comments:

Post a Comment