Wednesday 27 November 2013

Curhat LDR

Story 2 (Curhat LDR book)

LDR is Beautiful!

by: Dwinda Alhuda Arofa

Berada jauh darinya membuat kumengerti sebuah arti kerinduan.Dengarkan kisahnya, maka kau akan temukan aku dan seseorang yang sangat kucintai.


Awal Semptember 2011.
"Huh!" aku menghempaskan diri ke kasur.
Rasanya berat sekali menjalani hari-hari terakhir di rumah sebelum memasuki dunia kuliah yang mengharuskan tinggal di asrama. Bagaimana tidak berat, di sana tidak diperbolehkan membawa barang elektronik yang biasa aku pakai di rumah. Tidak ada laptop, radio, televisi, bahkan yang sudah menjadi kebutuhan primer orang zaman sekarang, HANDPHONE ! Oh tidaaak!!!
Aku memandang sebuah foro ukuran 3R. Potret seorang lelaki yang sedang tersenyum lepas. Namanya, Diki Noris. Nama yang unik. Bermula dari pertemuan saat eskul di SMA, kami saling jatuh cinta lalu menjalin sebuah hubungan hingga saat ini.
Walaupun ia bukan sosok lelaki romantis, seperti Robert Pattinson di layar "Twilight" namun aku senang menjalani hari dengannya. Aku merasa memang inilah yang aku cari sejak dulu.
Ehm, bagaimana ya kalau nanti aku sudah di asrama? Bagaimana bisa berkomunikasi juka tidak ada handphone?
Sepertinya, keadaan sekarang memaksaku untuk mulai mempersiapkan kemungkinan kandasnya hubungan ini. Banyak cerita, pasangan yang masih bisa berkomunikasi lewat telepon, SMS, atau video call saja banyak yang berhenti di  tengah jalan, apalagi aku?
Tiga hal yang sangat membunuhku nanti, jarak yang cukup jauh, backstreet dari orangtua, dan tidak ada alat komunikasi sama sekali! Namun semua ini demi cita-citaku di masa depan. Yeah, menjadi tenaga kesehatan profesional!
Hanya satu yang bisa kulakukan sebelum berangkat ke asrama, menitip pesan kepadanya agar selalu menceritakan segala hal yang terjadi setiap hari melalui pesan di Facebook.

Pertengahan September 2011
Angin malam berhembus keras, menggores perih ujung persendian. Berkali-kali aku mencoba memejamkan mata untuk tidur namun gagal. Coba lagi, dan gagal terus. Rasa gelisah menyelimuti di malam pertama tinggal di asrama. Dunia apa ini? Asrama yang asing, kamar yang asing dengan tempat tidur bertingkat, teman-teman, kakak kelas, ibu asrama, dan kampus. Semua asing bagiku.
Hari-hariku penuh dengan kegalauan. Jika kelas sedang jam kosong, pikiranku tertuju pada Diki. Aku merasa tidak ada yang memperhatikanku sekarang. Tidak ada telinga yang selalu mendengarkan ceritaku tentang segala hal di sekolah.
Ehm, bagaimana ya keadaan dia sekarang? Sehat? Apakah dia bisa mengurus dirinya sendiri tanpa ada yang mengingatkan untuk makan, dan jangan tidur larut malam bersama tugas-tugasnya?
Kalau dulu sih, aku yang selalu mengingatkannya. Take and give. Dia perhatian kepadaku, aku pun begitu. Sekarang, siapa yang akan melakukan itu? Bagaimana juka maagnya kumat? Bagaimana jika ia kurang tidur lagi? Atau, yang lebih buruk, bagaimana jika ia merasa kesepian dan mencari sosok lain?

Oktober 2011
Setelah menjalani masa adaptasi di asrama selama satu bulan, aku dan teman-teman diperbolehkan pulang ke rumah selama tiga hari. Aku manfaatkan waktu itu untuk melepas rindu dengan keluarga, teman-teman, dan pacar.
Hal yang wajib dilakukan adalah mengecek Imbox Facebook. Saat pertama kali aku buka, loading lama sekali. Waw! Ternyata penuh dengan kiriman darinya. Ia menceritakan sedetail-detailnya kegiatan yang dilakukan setiap hari. Mulai dari accident ban motor yang pecah di tengah hujan, maag yang kumat karena tidak makan siang, diare yang mengganggu saat kuliah, pengusiran dosen karena lupa membawa tugas, hingga keberuntungannya mendapat uang Rp 10.000 dalam bungkusan makanan ringan. Aku meneteskan air mata sambil sesekali tertawa membacanya.
Oh iya, ada satu lagi. Kini, ia mulai mengajar privat bagi siswa sekolah dasar untuk mengisi waktu luang. Hasilnya memang tidak seberapa namun yang membuat kubangga, ia menyediakan hari khusus untuk private gratis di rumah bagi tetangganya yang kurang mampu. Ck, ck, ck.
Dengan membaca banyak kiriman dan berbagai foto-fotonya, aku merasa sedang berada di dekat Diki. Ah, andai saja itu terjadi, sekadar memastikan bahwa ia baik-baik saja.
Eh? Tiba-tiba aku mendapat ide cemerlang. Aku segera mendata barang apa saja yang Diki butuhkan, dan bergegas menuju swalayan.
Susu, makanan ringan, hand sanitizers, vitamin C, buku catatan kecil, masker, sarung tangan, jaket dan jas hujan.
"Ya, sudah lengkap," aku manggut-manggut.
Dari cerita-cerita dalam pesan yang ia kirimkan, barang-barang inilah yang ia butuhkan. Memang barang kecil tapi mungkin tak terpikir olehnya.
Semua barang ini ada filosofinya. Susu, makanan ringan, hand sanitizers, dan vitamin C untuk menjaga daya tahan tubuh, agar tidak maag juga diare lagi. Masker, sarung tangan, jaket dan jas hujan tentu untuk perlindungan saat mengendarai motor. Barang yang terpenting adalah buku catatan kecil agar tidak ada yang kelupaan dan tidak ada kasus pengusiran lagi.
Semoga saja ini bermanfaat untuknya. Aku akan berusaha merawatnya dari jarak jauh. Bismillah, aku bungkus semua dan segera mengirimnya melalui jasa pengiriman paket kilat.
"Semoga sampai tempat tujuan," aku mengecup bungkusan itu.

Tak terasa tiga hari telah berlalu, saatnya kembali ke asrama. Waktu itu jam menunjukkan pukul 15:50 WIB, tepat sepuluh menit lagi apel masuk asrama akan mulai. Aku menunggu di halaman depan asrama dengan hati gelisah tak menentu.
Sudah saju jam lebih Diki tidak membalas SMS.
"Kamu ke mana sih?" Balas SMS aku dong!"
Tulilut... Tulilut...
Sebuah SMS masuk. Dari Diki. Buru-buru aku membukanya.

Sayang, aku lagi di RS, habis kecelakaan.

Tanganku gemetar saat membaca SMS tersebut.
Baru aku akan membalasnya, tiba-tiba... klonteng... klonteng... Bel tanda apel siap dimulai telah berbunyi. Setelah apel, dilarang keluar asrama lagi. Segera aku menyerahkan handphone ke ayah, dan masuk asrama untuk mengikuti apel.
Selama apel, mataku terasa pedas sekali menahan air mata yang hampir tumpah. Badanku gemetar rasanya. Ya Tuhan tolong Diki...!!

November 2011
Horeeee!!
Waktunya pulang ke rumah lagi. Rasanya aku ingin berlari menuju rumah. Tak sabar rasanya ingin bertemu keluarga dan juga membaca semua kiriman pesan Diki di Facebook.
"Assalamualaikum...," aku membuka pintu rumah pelan. Mama langsung menyasambutku dengan senyuman, "Waalaikumsalam, sudah pulang Win? Sudah makan belum? Mama sudah buatkan soto ayam kesukaan kamu.
"Belum Mah, wah pasti enak."
"Ya sudah, kamu ganti baju dulu. Mama racikin sotonya."
Sambil mengganti baju, aku sempatkan membuka Facebook. Beberapa pesan yang kubaca cukup membuat lega. Kondisi Diki sudah mulai membaik, dan ia mengucapkan terima kasih atas barang kirimanku yang sangat berguna.
"Win, ayo makan, mumpung masih panas," suara Mama memanggil dari arah dapur.
Kami makan bersama sambil mengobrol seputar asrama dan kuliah.
"Oh iya, Gimana kabar Diki? Sudah baikan?"
Lho? Darimana Mama tahu semua itu? Oh, iya! saat aku menyerahkan handphone, aku belum mematikannya. Mungkin Papa dan Mama membaca SMS dari Diki.
"Besok ajak ke rumah ya, kenalin dengan Papa dan Mama. Sekarang, kamu sudah boleh pacaran kok, kan sudah kuliah."
Wajahku mendadak berubah senang. Akhirnya, setelah backstreet dua tahun lebih, Papa dan Mama merestui. Ah, leganyaaa!

Desember 2011
Suasana malam di jalanan tengah kota sangat penuh sesak tetapi dengan hatiku yang tenang saat berjalan dengan Diki disertai izin resmi dari orangtua. Ciiyeeehh, sekarang sudah enggak backstreet lagi ceritanya.
Malam ini Diki berjanji akan mengajak ke suatu tempat yang sudah ia persiapkan dari jauh hari. Aku jadi penasaran, tempat apa sih?
"Nah, sekarang kita sudah sampai"
"Kenapa kita ke sini? Tempat ini kan mahal."
Ia mengandeng tangan kumasuk. Kami duduk berdua di sebuah pondok yang telah di-booking sebelumnya. Beberapa lilin di meja menemani dengan sinarnya.
Selama makan kami diam seribu bahasa, hanya sesekali saling bertatapan dan tersenyum. Suasana malam itu terasa tenteram sekali. Hingga waktu menunjukkan pukul 21:25 WIB, kami berniat menyudahi acara tersebut.

"Gimana malam ini?"

Aku hanya tersenyum. Habis binggung mau menjawab apa, pertanyaannya saja ambigu. Mungkin ia ingin menanyakan perasaanku, senang atau tidak.
"Ehmm..... Katanya, kamu enggak ada uang? Buat makan siang aja enggak ada sampai maag kamu kumat terus."
"Ya, kalau untuk diri sendiri memang enggak pernah ada uang, tapi kalau utnuk kamu beda cerita."
"Jangan-jangan kamu maling uang orang ya?"
"Enggak lah! Sudahlah enggak usah dibahas!"
Kami terdiam.
"Bintangnya bagus ya?" ucapnya seperti di film-film.
"Iya bagus banget," ucapku berbohong.
Bintang seperti itu kan setiap malam juga ada. Dasar korban televisi. Yah tidak apalah, hitung-hitung mencarikan suasana agar lebih romantis.

"Dwinda...."
"Ya?"
"Boleh minta sesuatu enggak?"
Aduh! Mau minta apa dia? Jangan-jangan, seperti yang di film-film. Gimana kalau dia minta ci....?
"Boleh enggak?"
"Minta apa?"
"Enggak muluk-muluk kok. Ehmm.... aku pengen kamu belajar yang benar di sana, enggak usah mikirin aku. Jangan khawatir, aku enggak akan selingkuh. Aku juga sudah biasa menjaga kesehatan diri sendiri."
"Eh? Kok, kamu tahu kalau aku mikirin itu?"
Ia membuang napas panjang. "Memangnya aku baru sehari-dua hari kenal kamu?"
Ia mencoba mencubit pipi. Aku menepisnya sambil tersenyum.
"Aku di sini bakal jaga diri untuk kamu. Kita berjuang sama-sama ya? Mau kan?"
Aku mengangguk.
"Eh, sini dong aku bisikin."
Ia menarik tanganku. Aku pun mendekatkan telinga.
"Aku sayang kamu."
"Aku juga, " balasku berbisik

Kami mendadak tersipu malu layaknya sepasang kekasih yang baru jadian. Hihihi. Kami tertawa bersama melihat kejadian itu.
Malam ini tak mungkin terlupakan. Indah sekali. Rasanya semenjak jarak menjauhkan seperti ini, kami menjadi lebih saling menyayangi, saling menjaga, dan belajar membangun kepercayaan satu sama lain.
Ah, mungkin inilah indahnya LDR aku dan dia yang tidak bisa dirasakan pasangan lain. Aku merasa bahagia sekali. Terima kasih Tuhan.

-The End-

No comments:

Post a Comment